KEMAUAN YANG KERAS

Kemauan yang keras dalam diri manusia ibarat api yang menyala-nyala, artinya kalau kita analogikan dengan keinginanan yang saya maksud adalah menggunakan fisik untuk melakukan suatu amal sholeh yang tidak mengenal lelah, gelisah, resah dan galisah, itulah yang memang harus dimiliki seorang mujahid muda dan mudi islam. Karena tekad seorang pemuda dan pemudi semakin kokoh agamapun semakin kokoh. Karena ada sebagian para ulama’ mengatakan : Seorang wanita yang sholehah, berarti dia telah menegakkan agama, sedangkan wanita yang buruk amalnya, berarti dia telah merobohkan agama.
Begitu pula seorang pemuda apabila dia mempunyai tekad yang kuat dalam memperjuangkan agam Allah berarti dia adalah seorang panglima yang layak mendapatkan cendramata Allah yang tiada bandingannya didunia ini yaitu surga-Nya. Karena seorang mujahid yang telah mengorbankan jiwa dan raganya demi agama Allah pasti malaikat-Nya selalu menjaganya setiap melangkah.
Tekad yang kuat merupakan motivator utama yang harus dimiliki oleh seorang muslim khususnya bagi pemuda dan pemudi, karena mereka adalah sebagai estafeta perjuangan ummat yang telah dicontohkan oleh para sahabat-sahabat Nabi seperti Abubakar, Umar, Utsman dan Ali. Kalau mengingat tekad yang dimiliki oleh ’Umar bin Khottab yang asal mulanya beliau adalah dari kalangan kuraiys yang sebelumnya benci terhadap islam akan tetapi setelah beliau mendengan kalimat syahadatain hatinya terasa takut dan gemetar, akhirnya beliau masuk islam. Setelah beliau memahami tentang pelajaran islam beliau semakin semangat dalam menegakkan agama Allah, bahkan bagi seseorang yang tidak mau masuk dalam agama yang dapat menyelamatkan dirinya, Umar menumpasnya dengan pedangnya.
Tekad yang kuat bukan karena penampilan pakaian kalian akan tetapi kita melihat orang yang memiliki tekad yang kuat yang menampakkan diri dalam kesungguhan, menarik tali kekang dan tidak dikhinati dari kendali itu. Tatkala kita melihat hal yangmenakutkan, maka hati seorang pengecutpun menjadi lemas, ia merindukan kembali orang yang gagap dari kekohan, sementara ia dalam barisan jihad lebih tabah hatinya daripada kutub dalam orbitnya.
Category: 1 komentar

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PENDIDIKAN PESANTREN HIDAYATULLAH (Studi Deskripsi Pandangan Pendiri Hidayatullah, Ustad Abdullah Said)

A. Latar Belakang
Secara historis ilmu manajemen berangkat dari seting sosial-ekonomi masyarakat Eropa yang sedang mengalami proses revolusi industri..Hal ini terlihat dari besarnya perhatian pada masalah efisiensi kerja manusia dan mesin yang ditempuh dengan jalan meneliti gerakan-gerakan dan waktu yang diperlukan untuk memproduksi barang-barang dan ternyata hasil penelitian tersebut dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya. Sehingga perbandingan antara masukan dan keluaran semakin besar.1
Meskipun demikian sejatinya pengelolaan kehidupan manusia telah ada sejak zaman prasejarah. Kelompok pemburu pada umumnya menghargai dan patuh pada pemimpin atau sekelompok pengambil keputusan yang bertanggungjawab atas kesejahteraan kelompok itu. Dengan semakin membesar dan semakin rumitnya masyarakat, kebutuhan untuk berorganisasi dan memiliki manajer menjadi semakin jelas. Hal ini mendorong para ahli zaman itu untuk mempertimbangkan sifat manajemen secara intuitif.2
Hanya saja usaha untuk mengembangkan teori manajemen relatif baru saja dilakukan. Revolusi industri pada abad ke 18 dan 19 secara khusus menyebabkan tumbuhnya kebutuhan akan adanya pendekatan yang sistematik terhadap manajemen. Penggunaan teknologi baru pada waktu itu memusatkan bahan baku dan tenaga kerja dalam jumlah yang sangat besar dalam pabrik. Barang-barang dihasilkan dalam jumlah besar dan harus didistribusikan secara luas. Kebutuhan untuk mengkoordinasi semua ini mendorong munculnya pendekatan sistematik terhadap manajemen.3 Sehingga bukan suatu hal yang aneh jika manajemen identik dengan bisnis atau perekonomian.
Akan tetapi sebagai salah satu cabang ilmu sosial, teori dan penerapan, ilmu manajemen telah menyentuh ke seluruh jenis organisasi dan seluruh aspek kehidupan, dari yang sifatnya pribadi hingga negara. Banyak buku yang telah dituliskan mengenai manajemen, dari mulai manajemen diri, manajemen organisasi, manajemen bisnis, hingga manajemen perang. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ilmu manajemen dibutuhkan oleh semua orang.4
Di antara sekian banyak sub manajemen, Manajemen Sumber Daya Manusia adalah bahasan yang paling populer dan banyak mendapat perhatian berbagai pihak. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara pasti menuntut perubahan-perubahan, tidak terkecuali lembaga pendidikan Islam. Semua itu dapat dilihat dari fenomena tumbuh-kembangnya program dan praktiik pendidikan Islam yang dilaksanakan di nusantara. Secara historis dalam hal ini setidaknya ada empat jenis pendidikan Islam Indonesia berdasarkan praktik pendidikannya: 1) pondok pesantren, 2) madrasah, 3) pendidikan umum yang bernafaskan Islam dan 4) pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.5
Meskipun demikian sejatinya aktivitas kependidikan Islam ada sejak adanya manusia itu sendiri (Nabi Adam dan Hawa), bahkan ayat al-Quran yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw adalah bukan perintah tentang shalat, puasa dan lainnya, tetapi justru perintah iqra’ (membaca, merenungkan, menelaah, meneliti atau mengkaji) atau perintah untuk mencerdaskan kehidupan manusia yang merupakan inti dari aktivitas pendidikan.6
Pada era globalisasi aktivitas pendidikan Islam secara mutlak membutuhkan sistem pengelolaan yang lebih baik lagi. Khususnya dalam rangka melestarikan dan mengokohkan peradaban Islam. Inilah yang nantinya disebut dengan manajemen pendidikan. Pada dasarnya manajemen merupakan suatu proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran atau tujuan tertentu. Sedangkan manajemen pendidikan adalah manajemen yang diterapkan dalam pengembangan pendidikan. Dengan demikian pengertian dari manajemen pendidikan Islam adalah manajemen yang diterapkan dalam pengembangan pendidikan Islam.7
Bagi masyarakat Indonesia, termasuk pondok pesantren, pengembangan sumber daya manusia merupakan sebuah keniscayaan. Kebutuhan tersebut semakin mendesak dengan kian cepatnya arus informasi dan mobilisasi sosial dari berbagai elemen bangsa di dunia. Khususnya bidang pendidikan yang kian kompetitif-deviatif yang jika tidak diupayakan gerakan penyeimbang akan mengancam sisi teologis umat Islam.
Berdasarkan ketetapan MPR RI No. IV/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (1999:66) telah ditetapkan visi Bangsa Indonesia, yaitu :
terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.8

Visi tersebut tentu sangat sulit untuk dapat direalisasikan oleh satu pihak, pemerintah sekalipun jika tanpa dukungan dan kontribusi riel masyarakat Indonesia. Salah satu lembaga pendidikan yang memungkinkan terwujudnya visi bangsa tersebut adalah pesantren yang eksistensinya telah teruji selama lebih dari 500 tahun. Karena peran pesantren sejak masa penjajahan dan khususnya paska kemerdekaannya, pesantren masih mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Ki Hajar Dewantara, yang dikenal sebagai tokoh pendidikan nasional dan sekaligus Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayan RI yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.9
Terlebih kini pesantren telah memiliki “kemampuan” beradaptasi yang meyakinkan. Hal ini ditandai dengan lahirnya istilah pondok modern. Yakni pondok pesantren yang mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan sekolah ke dalam sistem pendidikan di pesantren.10
Meskipun demikian, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perang pemikiran yang kian memanas mengharuskan pesantren dapat mengatasi semua itu dan tampil sebagai fungsi yang seharusnya. Langkah pertama dan utama yang perlu mendapat perhatian serius adalah pengelolaan manajemen sumber daya manusia yang dimilikinya. Kecanggihan sistem dan kelengkapan perangkat yang ada tidak akan mengantarkan pada tujuan jika SDM yang dimiliki tidak memiliki kemampuan untuk mengelolanya dengan baik.
Lahirnya Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) tidak lain adalah dalam rangka meningkatkan nilai tambah. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk hal tersebut adalah dengan melakukan pembangunan di bidang pendidikan nasional khusunya dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME. Untuk mewujudkan semua itu peran SDM dalam hal ini adalah guru dan seluruh elemen yang include dalam dunia pendidikan pesantren merupakan posisi strategis yang akan memberikan warna dan menentukan arah perjalanan bangsa ke depan.
Guru adalah orang yang harus berkepribadian, berilmu, dan terampil dalam melaksanakan tugasnya. Guru juga orang yang bertugas dan berwenang dalam dunia pendidikan dan pengajaran pada lembaga pendidikan formal.11 Sederhananya guru adalah orang yang akan mewarnai kehidupan bangsa di masa-masa yang akan datang. Dalam Islam posisi guru adalah posisi yang sangat mulia.12
Oleh karena itu pesantren dengan wujudnya saat ini harus mampu menjawab tantangan zaman. SDM pendidikan dalam kondisi demikian adalah masalah fundamental yang harus segera teratasi. Uniknya di negeri ini terdapat salah satu pondok pesantren yang kehadirannya kini hampir menyebar di seluruh nusantara. Pondok Pesantren tersebut adalah Pondok Pesantren Hidayatullah. Secara historis pesantren ini berdiri di pulau Kalimantan, tidak seperti pesantren pada umumnya. Hidayatullah juga bukan pesantren yang lahir dari ide dan kreativitas seorang kiai. Melainkan seorang aktivis dakwah yang dalam perjalanannya tidak melalui jalur pendidikan sebagaimana kiai pada umumnya.
Akan tetapi masyarakat secara umum tidak memberikan respon terhadap Pesantren Hidayatullah melainkan dengan tangan terbuka. Demikian pula halnya dengan pemerintah dan tokoh masyarakat setempat. Padahal jika memperhatikan setting sosial politik yang berkembang pada masa Pesantren Hidayatullah berdiri dan berkembang tidaklah cukup kondusif untuk gerakan syiar Islam. Dalam hitungan kurang dari 25 tahun sejak pertamakali hadir di Balikpapan kini Hidayatullah telah menjadi suatu ormas dengan pendidikan sebagai ikon gerakannya. Bahkan kini pesantren Hidayatullah dengan konsep pendidikakannya melalui sekolah-sekolah yang ada di cabang-cabang memiliki model pendidikan khas, yakni pendidikan integral.
Di sini peneliti melihat perlunya sebuah penelitian terhadap fenomena di atas khususnya yang menggunakan pendekatan manajemen. Manajemen tersebut adalah manajemen Sumber Daya Manusia. Sebagai salah satu sub bahasan dalam ilmu manajemen, manajemen SDM merupakan diskursus yang tidak pernah usai mengalami proses dinamisasi. Esensi dari adanya manajemen sumber daya manusia tidak lain adalah dalam rangka menemukan manusia-manusia yang tepat guna dalam rangka pencapaian suatu target dan tujuan sebuah organisasi. SDM yang terbaik dalam kaca mata John Chambers adalah manusia yang siap melakukan perubahan diri mengikuti ritme tradisi yang kita bangun serta siap untuk dimotivasi dan diarahkan menuju idealitas yang kita miliki.13
Karena peran SDM pada masa kini merupakan penentu bagi keberhasilan sebuah akitivitas yang dilakukan dalam suatu lembaga, organisasi, baik instansi Pemerintah, BUMN, atau Perusahaan-perusahaan Swasta, maka sangat diperlukan pemeliharaan dan pengembangan SDM, yang juga bisa dikatakan bahwa SDM adalah “aset organisasi”.14
Sebagai pesantren yang tidak lahir dari pemikiran seorang kiai, ditambah dengan kuantitasnya yang menyebar ke hampir seluruh kota di nusantara dengan pendidikan yang menjadi ikon gerakannya, timbul pertanyaan mendasar bagaimana semua itu dapat terjadi? Dalam teori manajemen peranan SDM memiliki peran serta fungsi penting bagi tercapainya tujuan organisasi15. Bahkan dalam perspektif visi yang dimiliki dapat diartikan bahwa Manajer yang berhasil di masa depan adalah manajer yang cepat tanggap, terbuka, profesional dan mempunyai visi human oriented (berorientasi kepada SDM) serta mengelolanya secara efektif dan mempunyai perspektif jauh ke depan.16
Hidayatullah yang berangkat dalam bentuk pesantrennya merupakan fakta langka dan unik.17 Lazimnya organisasi yang tumbuh dan berkembang luas dengan basis yang cukup besar dan solid adalah organisasi masa, partai politik, organisasi kepemudaan atau mahasiswa seperti HMI, PII, GMNI, PMII, IMM dan lain sebagainya. Belum ada ditemukan suatu pesantren yang tersebar di seluruh nusantara yang memiliki pusat komando seperti Pesantren Hidayatullah. Istimewanya para pimpinan pesantren yang berada di daerah-daerah sebagian besar adalah orang-orang yang pernah hidup dalam gemblengan Ustadz Abdullah Said. Terlebih dalam dasawarsa pertama menjelang terbitnya era reformasi Hidayatullah telah memiliki tiga perguruan tinggi yang salah satunya juga konsentrasi dalam dunia pendidikan yakni STAI Luqman Al Hakim Surabaya yang sebagian besar alumninya mengemban amanah sebagai kepala sekolah.
Dengan demikian maka cukup beralasan jika peneliti menjadikan Manajemen SDM Pendidikan Pesantren Hidayatullah dalam Pandangan Ustadz Abdullah Said sebagai bahan penelitian dengan pembinaan sebagai fokusnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana manajemen yang Ustadz Abdullah Said terapkan dalam mengelola SDM pendidikann Pesantren Hidayatullah sekaligus sebagai upaya untuk mencari pokok-pokok manajemen yang dapat dikembangkan dan diteruskan dalam mengembangkan model pendidikan di Pesantren Hidayatullah di masa-masa yang akan datang. Penelitian ini belum pernah diungkap oleh peneliti terdahulu atau dinyatakan secara tegas perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan yang pernah dilakukan. Mengingat Ustadz Abdullah Said adalah subyek penelitian dengan Manajemen SDM Pendidikannya maka jenis penelitian ini adalah penelitian sejarah yang akan menggunakan pendekatan deskriptif. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memenuhi target dapat memberikan manfaat bagi pengembangan SDM pendidikan pesantren, masyarakat pada umumnya dan Hidayatullah khususnya.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan pokok yang dibahas dalam penelitian ini ialah Manajemen SDM Pendidikan Pesantren Hidayatullah Dalam Pandangan Ustadz Abdullah Said. Dikarenakan peristiwa tersebut telah terjadi di masa yang lalu maka pelacakan atas peristiwa-peristiwa serta penjabaran permasalahan tersebut, akan dipandu melalui pertanyaan berikut:
1.Bagaimana Manajemen SDM Pendidikan Pesantren Hidayatullah Dalam Pandangan Ustadz Abdullah Said yang Meliputi : Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi?
C. Tujuan Penelitian
Berangkat dari rumusan masalah di atas penelitian ini bertujuan untuk :
1.Mengetahui Bagaimana Manajemen SDM Pendidikan Pesantren Hidayatullah Dalam Pandangan Ustadz Abdullah Said?
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
a.Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini akan berguna untuk manajemen SDM pendidikan pesantren secara umum dan Pesantren Hidayatullah secara khusus. Kemudian dapat bermanfaat sebagai tambahan khazanah keilmuan khususnya pada masalah manajemen SDM pendidikan pesantren yang lebih efektif dan efisien dalam proses menuju tegaknya kembali peradaban Islam.
b.Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini akan berguna bagi :
1.Pimpinan Cabang Pesantren Hidayatullah di seluruh tanah air khususnya dalam manajemen SDM pendidikan yang dimilikinya
2.Kepala Sekolah Integral Hidayatullah di tanah air
3.Kader-kader muda Pesantren Hidayatullah dalam menjalankan tugasnya merintis dan mengembangkan cabang pesantren di daerah-daerah
4.Menjadi referensi baru tentang manajemen SDM pendidikan pesantren
5.Memenuhi salah satu beban SKS jenjang strata satu
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berupaya mendeskripsikan Manajemen SDM Pendidikan Pesantren Hidayatullah Dalam Pandangan Ustadz Abdullah Said dengan sistem pembinaan sebagai fokus penelitian. SDM Pendidikan dimaksud adalah pengurus yang mengelola sekolah di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan.
Dalam rangka menghindari penafsiran ganda berikut penjelasan mengenai batasan-batasan dalam penelitian ini :
a. Variabel, adalah konsep yang mempunyi bermacam-macam nilai.18 Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel aktif. Dengan demikian variabel dalam penelitian ini adalah Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan yang meliputi prinsip-prinsip pembinaan, metode dan materi pembinaan.
b. Tempat atau lokasi dalam penelitian ini adalah Pondok Pesantren Hidayatullah Pusat Balikpapan di Kelurahan Tritip Kecamatan Balikpapan Timur. Karena di sanalah awal proses pendidikan Hidayatullah bermula dan berlangsung hingga saat ini. Adapun waktu yang menjadi bahan penelitian adalah sejak pertamakali berlangsungnya pendidikan pra formal sampai formal-klasikal di Pondok Pesantren Hidayatullah.
F. Definisi Operasional
Untuk mempermudah pemahaman dan menghindari kesalahan persepsi dalam penelitian ini, maka berikut ini adalah penjelasan secara definitif terkait dengan kata-kata kunci dalam judul penelitian ini:
1.Manajemen SDM adalah mengelola Sumber Daya Manusia.19
2.Pembinaan atau dalam bahasa umumnya pengembangan yang berarti usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoretis, konseptual dan moral.20
3. Pesantren Hidayatullah adalah lembaga pendidikan Islam yang terletak di kawasan Balikpapan Timur tepatnya di Gunung Tembak Kelurahan Tritip Kec. Balikpapan Timur
4.Pandangan di sini bermakna paham atau pendirian21
5.Abdullah Said adalah Pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah di Balikpapan
6. Sistimatika Pembahasan
Pada dasarnya pembahasan tersebut merupakan suatu sistematika yang saling terkait, dimana bagian yang satu merupakan pelengkap bagi bagian yang lain. Untuk memahami penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika pembahasan sebagai berikut :
Bab pertama berisi pendahuluan yang merupakan permulaan dari pembahasan skripsi yang terdiri dari; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, definisi operasional, manfaat penelititan, metode penelitian dan sistimatika pembahasan.
Bab kedua adalah kajian pustaka yang membahas tentang manajemen SDM Pendidikan yang meliputi :
Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi Pembinaan. Dilanjutkan dengan Pendidikan yang meliputi pesantren dan pendidikan formal (sekolah)
Bab ketiga adalah metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, jenis dan sumber data, subyek dan obyek penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen pengumpulan data, teknik analisa dan interpretasi data hasil penelitian.
Bab keempat adalah sajian hasil data penelitian yang meliputi :
a.Profile singkat Ustadz Abdullah Said
b.Pembinaan Ustadz Abdullah Said dalam MSDM pendidikan; Perencanaan, Pelaksaaan dan Evaluasi.
Bab kelima adalah penutup yang merupakan simpulan dan saran-saran untuk dapat menjadi bahan pertimbangan dan pengembangan lebih lanjut.

BAB II
KAJIAN TEORI

A.PEMBINAAN SDM PENDIDIKAN

1. Pendahuluan
Pendidikan adalah nyawa kehidupan. Dikatakan demikian, karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia yang terus berkembang. Melalui pendidikan suatu peradaban tegak dan menghegemoni. Sehingga untuk bangkit dan menjadi yang terbaik pendidikan adalah tolok ukur dari suatu keberhasilan.
Pada bab II ini peneliti sekilas menuliskan proses pembinaan yang telah berlangsung dalam sejarah peradaban Islam. Dimulai sejak pembinaan dari zaman Nabi, kemudian sahabat dan selanjutnya Imam Ghazali. Ada beberapa hal yang mendasari mengapa peneliti tidak mencantumkan pembinaan di zaman tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan mengapa memilih Imam Ghazali. Pertama peneliti berkeyakinan bahwa pendidikan atau pembinaan yang berlangsung pasca khulafaur Rasydin tidak terlalu banyak mengalami tantangan eksternal yang cukup berarti. Hal ini dapat dilihar dari gairah para penuntut ilmu yang begitu antusias dan sangat produktif. Sehingga banyak sekali karya monumental yang telah mereka hasilkan dan bermanfaat hingga masa sekarang.
Sementara pada zaman Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali tantangan eksternal yang melanda umat Islam sungguh sangat kompleks. Pada saat yang sama kondisi internal umat Islam secara umum sedang mengalami instabilitas. Lebih dari itu Al-Ghazali sebagai ulama telah mampu merefleksikan nilai-nilai keyakinan itu dalam kehidupannya. Dia menulis kitab monumentalnya Ihya’ Ulumuddin pada saat dia telah memahami dan menjalani sampai pada akhirnya dapat merasakan nikmat merengkuh dan memeluk kebenaran ajaran Islam.
Mengadaptasi keberhasilan para ulama terdahulu dalam melakukan proses pendidikan untuk kepentingan masa depan umat Islam kontemporer bukanlah suatu kekeliruan. Peneliti melihat masalah fundamental yang dialami umat Islam khususnya institusi pendidikan adalah lemahnya pengetahuan dan keyakinan akan kebenaran konsep pendidikan dalam Islam. Hal ini dapat kita lihat dari kualitas dan orientasi pendidikan yang kini banyak mengalami pergeseran. Akibatnya alumni lembaga pendidikan Islam belum dapat dijadikan diharapkan apalagi dijadikan sebagai figur uswatun hasanah.
Beralih pada masa sekarang berdasarkan ketetapan MPR RI No. IV/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (1999:66) telah ditetapkan bahwa visi Bangsa Indonesia, yaitu : terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.22
Untuk mewujudkan visi dimaksud tentu manajemen memiliki peran penting, utamanya manajemen sumber daya manusia. Tetapi perlu diketahui bahwa dalam sejarahnya manajemen tidak lepas dari pengaruh agama, tradisi, adat istiadat, dan sosial budaya. Sebagai agama wahyu Islam memandang manajemen berdasarkan pada teologi, yakni potensi positif dalam setiap insan yang dilukiskan dengan istilah hanif. Yakni sebuah watak yang akan menjadi penyebab manusia untuk cenderung memilih yang baik dan benar dalam seluruh kehidupannya. Sedangkan penilaian terhadap baik dan buruk akan sangat tergantung terhadap latar belakang kehidupannya.23
Mewujudkan manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin hanya bisa dicapai melalui pendidikan yang dikemas dengan manajemen yang berdasarkan teologi Islam24. Terutama dalam rangka melakukan perlindungan bangsa atas penetrasi budaya Barat yang destruktif. Dengan demikian maka Manajemen SDM pendidikan merupakan satu sisi yang harus mendapat perhatian serius setiap elemen bangsa ini khususnya kepala sekolah dan guru.
Kepala sekolah dan guru dalam hal ini adalah ujung tombak dari setiap kebijakan atas semua program pendidikan di tanah air. Aturan main, sistem, perundang-undangan yang diberlakukan dalam dunia pendidikan muaranya kembali pada makhluk yang bernama guru atau SDM pendidikan. SDM pendidikanlah yang akan melaksanakan secara operasional segala bentuk pola, dan geraknya sehingga tujuan pendidikan benar-benar dapat terealisasi dengan baik.
Oleh karena itu pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia pendidikan sebagai suatu proses pemberdayaan, bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia - yang menguasai pengetahuan, keterampilan, keahlian serta wawasan yang sesuai dengan perkembangan IPTEK – menjadi sebuah keniscayaan. Wawasan yang diperlukan dalam era gobalisasi adalah kemampuan untuk memandang jauh ke depan, wawasan mutu dan kekaryaan, serta wawasan inovasi dan perubahan yang sesuai dengan nilai dan sikap yang berkembang dalam masyarakat.25
Secara sederhana, Manajemen Sumber Daya Manusia pendidikan diperlukan setidaknya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai SDM pendidikan itu sendiri. Apakah guru-guru telah memiliki kualifikasi yang memadai? Apakah guru-guru memiliki kualitas profesionalisme? Dan apakah guru-guru benar-benar dapat menjadi figur bagi siswa-siswinya?
Lahirnya MSDM tidak lain adalah dalam rangka meningkatkan nilai tambah berupa produktivitas dan kepuasan26. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk hal tersebut adalah dengan melakukan pembangunan di bidang pendidikan nasional, khususnya dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME. Untuk mewujudkan semua itu peran SDM dalam hal ini adalah guru merupakan syarat mutlak yang nantinya akan menentukan arah perjalanan bangsa selanjutnya.
Suatu fakta bahwa pendidikan telah memberikan hasil yang memuaskan dalam mengatasi persoalan-persoalan dan hajat hidup orang banyak, baik di bidang perbaikan sistem politik, sosial, ekonomi, maupun sosial budaya. Disebutkan juga bahwa pembaruan yang menyeluruh terjadi di Jepang karena adanya pengaruh investasi pendidikan. Dengan demikian pendidikan memiliki arti dan posisi yang mendasar dan mutlak yang menuntut perhatian serius. Sehingga tidak berlebihan jika posisi pendidikan seharusnya dijadikan sebagai “public good”. 27
Sehingga bukan suatu hal yang aneh dan perlu dicurigai jika kemudian lembaga pendidikan Islam dalam hal ini pondok pesantren turut berupaya untuk dapat mengemas, mendesain dan menampilkan institusinya sebagai lembaga pendidikan yang terbaik dengan tetap menjadikan normativitas Islam sebagai landasan. Oleh karena itu upaya penerapan manajemen yang tepat dan benar - manajemen sumber daya manusia pendidikan - adalah suatu aspek yang perlu mendapat perhatian serius dari para pengelola pesantren, masyarakat dan pemerintah. Jika pemerintah bersinergi untuk melestarikan nilai dan budaya negeri ini, maka pesantren sebagai lembaga pendidikan formal tertua dan terbesar di tanah air sangat layak untuk dipertahankan, dikembangkan dan ditingkatkan. Sebab pesantren adalah ciri khas pendidikan di tanah air yang telah mengiringi sejarah perjalanan bangsa ini.28
2. Manusia dan Pendidikan
Berbicara pendidikan tidak bisa lepas dari bahasan mengenai manusia.29 Karena subyek dan obyek dalam pendidikan itu sendiri tiada lain kecuali manusia. Maka pengetahuan komprehensif mengenai manusia menjadi pokok permasalahan yang harus segera terpecahkan. Hal ini tentu penting mengingat arah pendidikan akan ditentukan oleh pemahaman individu terhadap hakekat manusia itu sendiri.
Ismail Yusanto menegaskan bahwa sudah semestinya setiap manusia memahami hakikat hidupnya di dunia. Dalam perspektif Islam hidup manusia merupakan perumusan komprehensif dari tiga pertanyaan mendasar Dari mana manusia berasal, untuk apa manusia hidup, serta kemana manusia setelah mati? Pemahaman ini akan menentukan corak atau gaya hidup seseorang.30
Dalam Islam menjadi sebuah keniscayaan untuk memahami secara baik akan hakikat manusia. Dan tidak ada bahasan komprehensif yang paling tepat mengenai manusia melainkan dalam Islam itu sendiri. Ini berarti manusia yang memahami hakikatnya adalah individu yang memahami Islam dengan baik. Sehingga dalam operasionalnya nanti pendidikan Islam harus selalu memberi arah terhadap hidup kita, agar umat Islam terhindar dari serbuan pengaruh-pengaruh pemikiran asing yang menyesatkan.31
Pendidikan Islam menghendaki terlahirnya manusia yang baik, yakni manusia yang memelihara dan menjaga nilai-nilai kefitrahannya. Fitrah dimaksud adalah komitmen jiwanya akan status dan hakikat dirinya di tengah kosmos yang luas ini. Sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an Surat al-A’raf ayat 172 yang artinya :
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"
Berdasarkan pada ayat tersebut Sahminan Zaini menegaskan bahwa pendidikan Islam adalah sebuah upaya yang berorientasi pada pengembangan fitrah manusia dengan ajaran agama Islam, agar terwujud kehidupan manusia yang makmur dan bahagia.32 Bahkan dalam Islam tujuan pendidikan adalah untuk merealisasikan misi Tuhan dibalik penciptaan manusia itu sendiri.33
Hal ini tentu berbeda dengan pengertian pendidikan yang dipahami oleh kebanyakan orang. Dimana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadian yang sesuai dengan nilai-niai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Istilah pendidikan juga dipahami sebagai bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.34
Menurut UU No. 20 th 2003 Pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketermapilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.35
Lebih mendalam adalah tujuan pendidikan yang ditegaskan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas bahwa
tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara yang baik dan tidak pula pekerja yang baik. Sebaliknya tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Sehingga hal utama yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati bukan nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara masyarakat dan dunia.36

Secara lebih mudah untuk memahami tujuan pendidikan Islam adalah apa yang ditulis oleh Adnin Armas, M.A dalam salah satu artikelnya bahwa tujuan utama penddidikan Islam adalah mencari rido Allah SWT. Yakni dengan terlahirnya individu-individu yang baik, bermoral, berkualitas sehingga dapat memberikan manfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, negara dan umat manusia secara keseluruhan. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan sistem yang mendukung terlahirnya manusia yang baik, yakni terwujudnya kedisiplinan jiwa dan akal. Sehingga akan tercipta integritas anatara ilmu dan amal, fikir dan dzikir, akal dan hati yang kesemua itu benar-benar dapat terwujud manakala anak didik telah dapat menjadikan Islam sebagai pandangan hidup atau paradigmanya dalam memandang kehidupan ini37
Sekalipun terdapat perbedaan38, secara hakiki tujuan pendidikan dimanapun adalah untuk peningkatan kualitas. Akan tetapi sebagai muslim sesuatu yang sangat mendasar dan tidak boleh alpa dari tujuan pendidikan adalah kesadaran akan hakikat dirinya sebagai hamba Allah sekaligus khalifah-Nya. Mengacu pada hal tersebut, dapat kita temukan banyak catatan sejarah mengenai pendidikan. Mulai masa pra Islam sampai masa modern kontemporer. Salah satu wujudnya adalah pembinaan.
Secara bahasa pembinaan memiliki makna penyempurnaan atau perbuatan membina39 Ini berarti bahwa pembinaan telah mewakili kata pemberdayaan dan pengembangan. Sebab keduanya berujung pada tercapainya keadaan lebih baik atau kesempurnaan yang menjadi sebuah tuntutan dan tujuan dari suatu proses. Dalam proses pembinaan setidaknya ada tiga hal mendasar yang memiliki tingkat keterkaitan yang erat, yakni prinsip, metode dan materi yang kemudian dikemas dalam planning, actuating dan controlling yang benar.
B. PEMBINAAN SDM
Secara umum pembinaan dimaksudkan untuk memperoleh individu-individu yang berkualitas, mulai dari idealisme hingga profesionalisme dan loyalitas. Disamping itu pembinaan diharapkan mampu membentuk sensifitas guna merespon segala perubahan dengan tepat dan benar.40
Pada masa kontemporer pembinaan menjadi semakin urgen dan menentukan. Hal ini tentu dipengaruhi oleh berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi di segala bidang termasuk bidang pendidikan. Berbagai pendekatan, metode, dan strategi baru pembelajaran ditemukan dan dicoba, untuk diimplementasikan41. Salah satunya adalah pesatnya peningkatan kemampuan SDM pendidikan yang kini cenderung kepada istilah profesionalisme.
1. Pembinaan di Zaman Nabi
Berbicara tentang manusia khususnya mengenai pendidikan maka tidak ada yang lebih baik untuk diadopsi dan diaplikasikan modelnya melainkan beajar dari sejarah Nabi Muhammad SAW. Hal ini tentu karena Allah telah menginformasikan kepada umat manusia bahwa Nabi Muhammad adalah uswatun hasanah42 Dengan kata lain pendidikan yang tidak mengacu pada model pendidikan (pembinaan) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad adalah tidak sempurna.
Secara eksplisit hal ini dikarenakan pembinaan yang dilakukan memiliki banyak keistimewaan. Setidaknya sebagaimana dipaparkan berikut43 :
Bertujuan mencapai cita-cita luhur dengan memperhatikan sepenuhnya terhadap pembinaan potensi manusia sehingga menjadi suatu pembinaan yang serasi dan seimbang dalam segala aspek, baik jasmani maupun rohani, perasaan dan rasio maupun pergaulan, akhlak, kelestarian lingkungan hidup dan perikemanusiaan. Sehingga setiap pribadi memiliki jiwa yang dinamis dan semangat kerja untuk membangun lingkungan hidup yang efektif dan efisien.
Jalur tersebut merupakan suatu sistem pendidikan manusia seutuhnya dan sekaligus merupakan qudwah dan teladan yang baik dari dalam pendidik itu sendiri.
Dampak dari pendidikan Rasulullah SAW ini telah membawa sahabat beliau kepada pola hidup sederhana dan seimbang antara dunia dan akhirat serta memberikan kesempatan bagi manusia untuk dapat menikmati kehidupan alam yang indah, disamping menunaikan kewajibannya berbakti dan beribadah kepada Allah yang maha pencipta.
Membawa manusia kepada fithrahnya, menyeru setiap jiwa untuk mengenal dan mensyukuri karunia Allah yang maha pengasih dengan jalan merenungkan dan mengambil i’tibar dari kejadian alam semesta khususnya kejadian dirinya sendiri.
Dalam jalur ilmu pengetahuan, beliau sebagai pendidik menaruh perhatian penuh terhadap asas utama dari cara mendidik.44
Dalam jalur akhlak dan budi pekerti Allah memuji nabinya sebagai manusia yang memiliki akhlak yang agung.45
Dalam jalur ibadah dampak ibadah dan pendidikan iman tercermin dalam setiap perilaku kehidupan para sahabat beliau dan dengan ibadah tersebut telah membangkitkan semangat juang dan jiwa besar dalam hati mereka untuk tunduk patuh kepada segala perintah Allah SWT.
Dalam jalur dakwah. Sejak rasa iman dan taqwa terhujam di dalam hati dan jiwa mereka segera bangkit untuk berjuang menegakkan hak dan menghancurkan yang bathil serta menyebarkan ajaran-ajaran Islam ke seluruh pelosok alam sekitarnya, sekalipun halangan dan rintangan datang bertubi-tubi sehingga harus hijrah meninggalkan kampung halaman dan sanak keluarga.
Di sini dapat diketahui bahwa dasar pembinaan Nabi Muhammad SAW adalah penanaman aqidah islamiyah yang benar. Karena dari aqidah inilah akan terbentuk pandangan hidup Islam yang sesungguhnya.
2. Pembinaan di Zaman Sahabat
Tiada suasana lebih indah dari pada apa yang telah dialami oleh Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. Kesetiaan dan loyalitas serta kebersamaan menjadi suatu yang banyak mendominasi perjalanan dakwah Rasulullah SAW. Semua ini terjadi karena Rasulullah SAW memang benar-benar wujud manusia, guru dan pemimpin yang sempurna. Antara lisan dan perbuatan ibarat sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Sehingga bukan suatu hal yang aneh jika kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW adalah energi terbesar yang tak tertandingi. Karena itulah iman yang telah mencapai kesempurnaannya..
Para sahabat mendapatkan pembelajaran dan pembinaan dari Rasulullah SAW melalui berbagai media. Melalui diskusi, taushiyah maupun peristiwa. Hal ini dapat dilihat dari hadits-hadits yang menceritakan tentang suatu kejadian ataupun peristiwa. Di samping itu pembinaan juga berlangsung di masjid-masjid. Karena etape awal sejarah pendidikan Islam, pembinaan pertama berlangsung secara kontinyu adalah di dalam atau area sekitar masjid.46
3. Pembinaan di Zaman Imam Ghazali
Pembinaan pada masa Al-Ghazali tergolong pembinaan yang baru. Kurikulum, metode dan sistem pengajaran di sekolah bercorak Islami yang menggabungkan bidang aqidah, tazkiyah dan fiqih. Pembinaan ini berlangsung secara sistematis dalam sebuah institusi pendidikan yang populer dengan nama madrasah.47
Saat itu pendidikan ditujukan pada pembinaan mental para pelajar. Tujuan pendidikan mental tersebut adalah pendidikan yang mengarah pada lahirnya para pelajar yang menjauhi noda-noda dan senantiasa mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW baik dalam cara berpikir, emosi dan nilainya serta menjadikan beliau sebagai petunjuk dan teladannya. Sehingga keteguhan hati untuk berpegang teguh dengan sunnah dalam segala aktivitas dan memiliki sift-sifat yang intinya adalah mujahadah dan meneladani karakter orang-orang yang memiliki keteghan azam (Ulu al ‘Azm)48
Secara khusus tujuan pembinaan yang dilakukan oleh Al-Ghazali adalah 1) melahirkan generasi baru ulama dan elit pemimpin yang mau berbuat dengan pemikiran yang bersatu dan tidak terpecah-pecah, saling melengkapi bukan saling menjegal, dan memiliki tujuan yang tulus untuk Allah SWT serta sesuai dengan tuntunan risalah Islam. 2) Memfokuskan perhatian untuk mengatasi patologi krusial yang menggerogoti umat dari dalam dari pada sibuk dengan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh patologi-patologi tersebut.49
Sejalan dengan uraian di atas, Al-Ghazali sampai pada uraian mengenai kriteria guru yang baik.
Menurutnya bahwa guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya, dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagi ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik, dan mengerahkan muridnya.50




4. Prinsip Pembinaan
Berbicara pendidikan maka kita harus mengetahui secara benar hakikat dan fungsi manusia. Karena pendidikan hanya berlaku untuk manusia dan bukan yang lain. Berdasarkan pada penjelasan al-Qur’an manusia adalah makhluk yang memiliki sifat ganda yakni jiwa dan raga. Dalam hal ini para ahli sepakat bahwa teori dalam praktik pendidikan Islam itu sangatlah dipengaruhi oleh pandangan tentang fitrah manusia51
Karena fitrah merupakan anugerah Tuhan yang harus dijaga maka proses pendidikan dan pembinaan demi lestarinya fitrah tersebut adalah sebuah keniscayaan. Dalam pandangan DR. dr. Wahjoetomo ada dua alasan pembinaan dilakukan
1.Manusia dilahirkan dalam kondisi fitrah (suci) sehingga ketika muncul berbagai kerusakan, maka pembinaan (melalui lembaga pendidikan) merupakan benteng utama untuk memurnikan dan memelihara fitrah tersebut.
2.Manusia pada dasarnya berpotensi menerima kebaikan dan keburukan. Pembinaan diperlukan dalam rangka mewaspadai kecenderungan untuk melakukan yang buruk dan senantiasa memilih hal-hal yang baik. 52
Alasan tersebut didasarkan pada ayat al-Qur’an yang berbunyi :
          
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. al-Syam :8-10)

Pembinaan bertujuan untuk mendapatkan orang yang tepat yang dapat diharapkan untuk melanjutkan estafet perjuangan dengan memegang jabatan atau pekerjaan penting. Orang yang diharapkan tersebut kita kenal dengan istilah kader. Perjuangan akan mengalami stagnasi tanpa adanya pengkaderan. Dalam proses pengkaderan53 (pembinaan) sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW bahwa Addabaniy Rabbiy fa Ahsana ta’diibiy (Rabbiku yang mendidikku, maka Dia menjadikan padaku sebaik-baik sifat beradab)54
Inilah esensi dari sebuah pendidikan yakni menciptakan manusia-manusia beradab. Adab itu sendiri mengandung makna pengetahuan yang mencegah manusia dari kesalahan-kesalahan penilaian. Adab juga berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai-bagai tingkat dan derajat-tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah intelektual maupun ruhaniah seseorang.55
Di sisi lain pembinaan lebih identik dengan gerakan dakwah. Salah satu di antaranya disebabkan oleh fase Makkah yang gerakan dakwahnya fokus pada masalah akidah. Padahal pada saat yang sama transformasi nilai untuk membentuk worldview Islam juga berlangsung. Hanya saja antara pendidikan dan dakwah adalah dua kegiatan yang sulit untuk dipisahkan.56 Sejarah Nabi Muhammad SAW misalnya, banyak yang menganggap segala hal yang dialami baginda Nabi merupakan proses pembinaan dari Allah SWT. Pada akhirnya muncul istilah pembinaan melalui kejadian, pembinaan melalui amalan-amalan hati, pembinaan melalui akhlak dan pembinaan individu.57
Dalam dua fase dakwah Nabi Muhammad SAW di Makkah dan Madinah setidaknya ada dua fokus pendidikan atau pembinaan kala itu. Pertama pada fase Makkah, pendidikan atau pembinaan berkisar pada masalah akidah, baca tulis Al-Qur’an dan implementasi dalam bentuk amal, ibadah serta akhlak yang agung. Sedangkan pada fase Madinah pendidikan atau pembinaan mulai mengalami perkembangan disamping baca tulis Al-Qur’an juga ada pelajaran tajwid, memanah dan menghafal58
Guru59 dalam segala hal adalah tauladan, figur dan pembimbing yang diharapkan dapat mengantarkan kehidupan masa depan generasi penerus ke arah yang lebih baik. Hal ini karena Guru khususnya guru Pendidikan Agama Islam di sekolah/ madrasah pada dasarnya merupakan pewaris Nabi, serta pewaris dan pelanjut dari usaha-usaha dari para pendahulunya untuk mempertahankan dan atau mengembangkannya dalam konteks pendidikan formal di sekolah/ madrasah, sehingga masyarakat religius (yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa), yang menjadi cita-cita pembangunan bangsa dan negara Indonesia dapat terus maju.60
Dengan demikian menjadi semakin jelas bahwa dalam dunia pendidikan pembinaan merupakan suatu keniscayaan. Jika pembinaan terhadap murid atau siswa memiliki posisi yang penting dalam upaya mewujudkan masyarakat madani maka upaya membina guru-guru atau SDM pendidikan dalam segala hal jauh lebih utama. Apalagi jabatan guru merupakan pekerjaan mulia dan agung, karena dia merupakan ujung tombak untuk mencerdaskan bangsa.
Akan tetapi pembinaan juga berlaku dan menjadi ciri khas pada banyak komunitas atau organisasi. Partai Keadilan Sejahtera misalnya, dalam hal pembinaan setidaknya ada tiga prinsip yang mereka terapkan yakni, pembinaan harus bersifat interaktif, responsif dan memicu terbentuknya iklim fastabiqul khairat.61
Dalam manhaj Pondok Pesantren Hidayatullah dua surat yang diturunkan pada masa awal kenabian adalah prinsip pembinaan yang diterapkan sejak lembaga ini eksis. Yakni 5 ayat surat Al-‘Alaq dan 7 ayat dari surat Al-Qalam. Dua landasan ideal inilah yang mengiringi dan mengantar Pondok Pesantren Hidayatullah pada perjalanannya hingga saat ini.
C. MANAJEMEN PEMBINAAN SDM PENDIDIKAN
SDM pendidikan yang dimaksudkan dalam hal ini tidak lain adalah guru dan seluruh elemen yang terkait dalam pengelolaan pendidikan. Sebagaimana diungkapkan dalam latar belakang, bahwa ujung tombak dari semua persoalan pendidikan pada akhirnya kembali pada guru. Seorang guru dituntut untuk memberikan perhatian sebesar-besarnya bagi mutu pendidikan. Di pundak gurulah kualitas suatu bangsa terbentuk, stabilitas negara terjaga dan kejayaan bangsa akan bertahan. Tanpa guru semua itu akan runtuh dengan sendirinya.
SDM pendidikan (guru) adalah sosok dengan kepribadian yang utuh; sebagai pendidik, pemimpin dan pejuang (mujahid). Dengan demikian setiap guru mesti terlibat secara langsung dalam proses idealisasi menuju citra diri yang dalam aktifitas dan peranannya senantiasa dituntut untuk merealisasikannya.
Dalam bahasa organisasi, baik masyarakat maupun mahasiswa dan kepemudaan guru lebih dikenal dengan istilah pengader. Dalam HMI pengader HMI harus mampu menempatkan dirinya sebagai uswatun hasanah, memulai dari diri sendiri (ibda’ binafsihi).62 Hal ini agar guru benar-benar dapat mendapatkan kriteria sebagai manusia agung sebagaimana Rasulullah SAW yang semua itu hanya dapat dilakukan dengan baik melalui sebuah manajemen melalui sebuah pembinaan. Terkait dengan masalah pembinaan ini ayat di bawah ini dapat dijadikan bukti nyata pentingnya sebuah pembinaan untuk dilakukan, firman-Nya:
              
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar (Q.S. al-Nisa : 9)

1. PERENCANAAN
Secara umum dapat dipahami bahwa perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan fungsi utama yang harus dilaksanakan dalam organisasi, guna menjamin tersedianya tenaga kerja yang tepat untuk menduduki berbagai posisi, jabatan, dan pekerjaan, yang tepat pada waktu yang tepat. Kesemuanya itu dalam rangka mencapai tujuan dan berbagai sasaran yang telah dan akan ditetapkan.63
Tampak bahwa kata tepat merupakan kata kunci dalam berbagai kontekstual yang mencakup (a) Penunaian kewajiban sosial organisasi, (b) pencapaian tujuan organisasi, dan (c) pencapaian tujuan-tujuan pribadi dari pada anggota organisasi. Maka di sini dapat dimengerti bahwa perencanaan SDM berkaitan dengan pengidentifikasian persoalan-persoalan (problems), ancman-ancaman (threats) dan peluang-peluang (opportunities) atau PTOs, dalam organisasi dan lingkungan organisasi.64
Sehingga tidak berlebihan jika ada anggapan bahwa kedudukan perencanaan sejajar dengan data statistik - yang diterima sebagai sebuah metode ilmiah – dalam banyak bidang kehidupan. Bahkan perencanaan merupakan ciri cara ilmiah yang paling menonjol. Karena perencanan adalah proses awal untuk menentukan langkah dalam menghadapi berbagai kemungkinan masa depan, memastikan tujuan yang hendak dicapai, dalam fase-fase waktu yang pasti sesuai dengan skala prioritas tertentu.65
Hal ini dapat dimengerti mengingat tanpa sebuah perencanaan yang baik suatu pekerjaan tidak akan pernah sampai pada tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu perencanaan adalah keniscayaan bagi siapa yang ingin berhasil tidak terkecuali bila seorang muslim mengharapkan rido dan surga dari Allah SWT.66 Karena perencanaan merupakan bagian dari sunnatullah, yaitu dengan melihat bagaimana Allah SWT menciptakan alam semesta dengan hak dan perencanaan yang matang disertai dengan tujuan yang jelas. Sebagaimana firman-Nya
            
    
Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. (Q.S. Shaad : 27)

2. PELAKSANAAN
Bukan suatu yang berlebihan jika tujuan pendidikan adalah untuk melahirkan manusia yang baik. Karena melalui pendidikanlah transformasi nilai dapat berlangsung dengan baik. Dengan demikian maka sebagai tindak lanjut dari perencanaan yang telah dicanangkan tindak lanjut berupa pelaksanaan menjadi ajang pembuktian kesungguhan dan konsistensi dari arah yang telah ditetapkan sebagai media untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Program pendidikan yang dijalankan merupakan manifestasi dari sebuah tujuan yang terangkum dan terperinci dalam sebuah planning. Dalam hal ini peneliti akan mengambil pendidikan yang dijalankan oleh Al-Ghazali67 dalam membina para murid-muridnya dalam institusi pendidikan yang didirikannya sendiri (madrasah).
Al-Ghazali sangat menghindari praktik pendidikannya dari unsur-unsur dikotomis. Disamping mengajarkan fiqh dia juga mengajarkan murid-muridnya membentuk kerangka utuh yang menggabungkan seluruh ilmu agama seperti tawhid, tasawuf dan fiqh. Ia juga menggabungkan antara ilmu agama dengan keterampilan duniawi karena semua ilmu – dalam perspektif Al-Ghazali- bersifat Islami, hanya saja terbagi menjadi syar’i dan tidak syar’i. Ilmu-ilmu syar’i bersumber dari ajaran para Nabi, sedangkan ilmu-ilmu tidak syar’i adalah hasil inovasi akal, seperti ilmu kedokteran dan aritmatika.68
Bidang-bidang kurikulum yang disentuh oleh Al-Ghazali sangat sesuai dengan bidang-bidang yang dijelaskan oleh paradigma pendidikan yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini dapat dilihat dari empat bidang yang dianggapnya penting yaitu:
Pertama, Membangun aqidah Islam. Bertujuan membentuk aqidah yang jelas dan dinamis yang berperan sebagai ideologi yang menjelaskan dan mengarahkan berbagai macam kebijakan.
Kedua, Pendidikan jiwa dan kemauan (Iradah). Bertujuan meningkatkan kualitas manusia dari derajat tunduk kepada dorongan syahwat dan nafsu menuju derajat Ubudiyah (totalitas kepasrahan) kepada Allah, di mana seorang individu mampu membebaskan diri dari belenggu nafsu atau takut agar dapat bertindak sesuai dengan kehendak Allah SWT, dengan rasa puas dan suka hati.
Ketiga, Mengkaji ilmu-ilmu fiqh dan seluruh sistem serta prinsip yang diperlukan untuk mengimbangi pola muamalat yang berlaku pada masa itu dan permaslahan-permasalahan masyarakat yang ril dan senantiasa berkembang.
Keempat, Bidang hikmah atau persiapan fungsional. Meurut Al-Ghazali, wilayah ini mencakup seluruh bentuk kebijakan, manajemen dan profesi yang dibutuhkan oleh masyarakat saat itu serta tatacara penempatan masyarakat di semua sektor sesuai dengan kesiapan dan kemampuannya. Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa ilmu-ilmu dalakm wilayah ini tidak terbatas pada apa yang telah diketahui oleh manusia saat itu, namun akan banyak lagi ilmu-ilmu yang muncul di masa mendatang disebabkan oleh tabiat kehidupan yang terus berlanjut dan kebutuhan manusia yang senantiasa berkembang. 69
3. PENGAWASAN
Pengawasan saat ini lebih populer dengan istilah evaluasi. Praktis seluruh bidang kehidupan memerlukan evaluasi dalam prosesnya. Setidaknya untuk mengetahui seberapa besar perubahan dan hasil yang dicapainya. Terkait dengan dunia pendidikan selain mengevaluasi siswa kepala sekolah atau departemen pendidikan perlu mengevaluasi sumber daya pendidikannya atau guru khususnya kinerjanya selama ini. Karena kinerja merupakan indikator dari ketaatan, loyalitas dan pemahaman.
Dalam hal ini yang dimaksud adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan kinerja organisasi. Disamping itu juga untuk menentukan kebutuhan pelatihan kerja secara tepat, memberikan tangggung jawab yang sesuai kepada karyawan sehingga dapat melaksanakan pekerjaan yang lebih baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam hal promosi jabatan atau penentuan imbalan.70
Dengan demikian evaluasi atau pengawasan juga memiliki peran strategis dalam proses menggapai tujuan sebuah organisasi. Dengan kata lain dalam perjalanannya antara perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan harus berjalan secara bersamaan dan dilakukan secara simultan.
4. LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Secara historis pendidikan Islam bermula sejak Nabi Muhammad SAW menerima wahyu untuk pertamakalinya di gua Hira. Bahkan dalam manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu proses pendidikan telah berlangsung sejak masa pra wahyu sehingga Muhammad benar-benar siap untuk menjalani pendidikan dari Allah SWT.
Pendidikan yang terjadi pada masa Nabi Muhammad terjadi melalui dua cara, pendidikan langsung melalui perantara Isra’ Mi’raj dan pendidikan tidak langsung melalui Malaikat Jibril AS. Pendidikan yang dialami Nabi Muhammad ini adalah pendidikan yang sumbernya paling jelas yakni dari Allah SWT.71
Selanjutnya Nabi Muhammad SAW mengajarkan ilmu yang diterima dari Allah SWT tersebut kepada para sahabat secara langsung baik melalui qudwah teladan atau secara teoritis melalui majelis ilmu di masjid. Proses pendidikan semacam inilah yang kemudian melahirkan kepribadian para sahabat yang sangat agung yang tidak hanya mewarisi ilmu tetapi juga amal perbuatan Nabi Muhammad SAW.72
Seiring dengan perkembangan zaman model pendidikan Islam pun mulai banyak mengalami perubahan. Selain karena faktor sosial pertumbuhan pesat yang terus terjadi menuntut sebuah sistem yang lebih rapi dan tersistematis dengan baik. Untuk Indonesia setidaknya ada dua jenis lembaga pendidikan Islam yang eksis hingga saat ini yakni pesantren dan madrasah/sekolah.


a. Pesantren
Pesantren adalah suatu bentuk lingkungan “masyarakat” yang unik dan memiliki tata nilai kehidupan yang positif. Pada umumnya, pesantren terpisah dari kehidupan sekitarnya. Komplek pesantren minimal terdiri atas rumah kediaman pengasuh – disebut juga kiai (Jawa), ajengan (Sunda), dan bendoro (Madura), masjid atau mushola, dan asrama santri. Tidak ada model atau patokan tertentu dalam pembangunan fisik pesantren. Sehingga penambaahan bangunan demi bangunan dalam lingkungan pesantren hanya mengambil bentuk improvisasi sekenanya belaka.73
Meskipun dalam kondisi fisik yang sederhana, pesantren ternyata mampu menciptakan tata kehidupan tersendiri yang unik, terpisah, dan berbeda dari kebiasaan umum. Bahkan lingkungan dan tata kehidupan pesantren dapat diktakan sebagai subkultur tersendii dalam kehidupan masyarakat sekitarnya.74
Pesantren dilahirkan atas dasar kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaan Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da’i. Menurut pengertian dasarnya pesantren adalah ”tempat belajar para santri”, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu kata ”pondok” juga berasal dari bahasa Arab ”funduq” yang berarti hotel atau asrama.75
Pembangunan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga pendidikan lanjutan. Namun demikian, faktor guru yang memnuhi persyaratan keilmuan yang diperlukan sangat menentukan tumbuhnya suatu pesantren. Pada umumnya, berdirinya suatu pesantren ini diawali dengan pengakuan masyarkat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kiai. Karena keinginan menuntut ilmu dari guru tersebut, masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah datang kepadanya utnuk belajar. Kemudian mereka membangun tempat tinggal yang sederhana di sekitar tepat tinggal guru tersebut.76
1. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Sebagaimana dikutip dari Amin Rais disebutkan bahwa mekanisme kerja pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam pendidikan padaumumnya, yaitu :
1.memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah modern sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan kiai
2.kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka praktis bekerja sama mengatasi problema nonkurikuler mereka
3.para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar ijazah karena sebagain besar pesantren tidak mengeluarkanijaaah, sedangkan santri dengan ketulusan hatinya masuk psantren tanapa adanya ijaah tersebut. Hal itu karena tujuan utama hanya ingin mencari keridaan Allah SWT semata.
4.sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, penanaman rasa percaya diri, dan keberanian hidup
5.alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasi oleh pemerintah. 77
Pemerintah kolonial khususnya Belanda berusaha menekan dan mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh pribumi, tak terkecuali pondok pesantren. Penyelenggaraan pendidikan di pesantren menurut pemerintah kolonial Belanda terlalu jelek dan tidak memungkinkan untuk menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu, mereka mengambil alternatif kedua, yaitu mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubunganya dengan lembaga pendidikan yang telah ada.78
Setelah Indoensia mecapai kemerdekaannya, peantren masih mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Ki Hajar Dewantara, yang dikenal sebagai tokoh pendidikan nasional dan sekaligus Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayan RI yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional karena sesuai dan selaras dengn jiwa dan kepribadain bangsa Indonesia.79
Akhirnya pemerintah RI pun mengakui bahwa pesantren dan madrasah merupakan dasar dan sumber pendidikan nasional sehingga harus dikembangkan, diberi bimbingan dan bantuan. Wewenang dan pengembangan tersebut berada di bawah wewenang kementerian agama.80
Belajar dari pengalaman sejarah dan sebagai hasil dari evaluasi dewasa ini, pondok pesantren mempunyai kecenderungan baru dalam rangka renovasi sistemnya yaitu:
a.mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern
b.semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas perkebangan di luar dirinya
c.diversifikasi progra dan kegiatan makin teruka dan ketergantungannya pun absolut dengan kiai dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagi penetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja
d.berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat. 81
Secara garis besar, pesantren sekarang dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:
a.Pesantren Tradisonal; pesantren yang masih mempertahankan sistem pengajaran tradisonal dengan materi pengajaran kitab-kitab kklasik yang sering disebut kitab kuning
b.Pesantren Modern; pesantren yang berusaha menintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan sekolah ke dalam pondok pesantren. Semua santri yang masuk pondok terbagi dalam tingkatan kelas. 82
Meskipun bukan satu-satunya, namun pesantren adalah bentuk pendidikan Islam yang sudah melembaga secara permanen di pedesaan. Akan tetapi dewasa ini pesantren mulai berkembang di lingkungan perkotaan, seperti munculnya beberapa fenomena pesantren mahasiswa. Ini suatu bukti bahwa pesantren masih dianggap sebagai tempat yang paling efektif untuk mengenalkan ajaran Islam.83
2. Asal-usul Pesantren
Secara garis besar, ada dua pendapat mengenai asal-usul pesantren. Pertama, mengatakan bahwa pesantren berasal dari tradisi pra Islam. Pendapat kedua berpendapat, bahwa pesantren adalah model pendidikan yang berasal dari tradisi Islam.84
Pendapat A.H. Johns dan C.C. Berg dari sisi semantik kebahasaan mungkin dapat dianggap mewakili pendapat pertama. ”... isilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, ... istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Ini menunjukkan, bahwa secara semantik pesantren lebih dekat ke tradisi pra Islam atau lebih tepatnya India.85
Pendapat serupa dikemukakan oleh sejarawan Sugarda Purbakawactja. Menurutnya, terdapat beberapa persamaan antara unsur-unsur yang terdapat dalam sistem pendidikan Hindu dengan sistem pendidikan pesantren, yang tidak terdapat dalam sistem pendidikan Islam yang asli di Makkah. Unsur-unsur yang dimaksud yaitu seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak mendapatkan gaji, penghormatan yang besar terhadap guru, dan murid yang pergi ”meminta-minta” ke luar lingkungan pondok. Abubakar Atjeh menambahkan, letak pesantren yang didirikan di luar kota membuktikan bahwa pesantren memang berasal dari tradisi pra Islam. Pendapat ini agaknya melihat kebiasaan yang berlaku pada masyarakt pra Islam atau India.86
Senada dengan dua pendapat sebelumnya Geertz mendeskripsikan suasana kehidupan di pesanten, sebagai ”satu kompleks asrama siswa dikelilingi tembok yang berpusat pada suatu masjid, biasanya pada sebuah lapangan berhutan di ujung desa. Ada kyai, dan siswa muda (bujangan) yang mengaji al-Qur’an, melakukan latihan-latihan mistik dan tampak pada umumnya meneruskan tradisi India yang terdapat sebelumnya, dengan hanya sedikit perubahan dan aksen bahasa Arab yang tidak sangat seksama, sehingga suasananya jauh lebih mengingatkan kepada India atau Persia ketimbang Arab atau Afrika Utara.87
Sementara Mahmud Junus cenderung kepada pendapat yang kedua. Ia menyatakan bahwa asal-usul pendidikan individual yang dipergunakan dalam pesantren serta pendidikan yang dimulai dengan pelajaran bahasa Arab, ternyata dapat ditemukan di Bagdad ketika pusat pemerintahan Islam. Tradisi menyerahkan anah oleh negara bagi pendidikan agama dapat ditemukan dalam sistem wakaf dalam Islam. Unsur-unsur lain dari sistem pesantren juga dapat ditemukan dalam kebudayaan Islam. Istilah pesantren memang bukan berasal dari Arab, tapi istilah pondok mungkin berasal dari bahasa Arab; yaitu funduk yang berarti pesanggrahan atau penginapan bagi orang yang bepergian. Agaknya terlalu simplistis kalau istilah yang bukan berasal , lalau dikatakan bukan berasal dari Islam seperti pesantren ini.88
3. Sistem Pendidikan Pesantren
Tujuan pendidikan pesantren adalah setiap maksud dn cita-cita yang ingin dicapai pesantren, terlepas apakah cita-cita tersebut tertulis atau hanya disampaikan secara lisan. Terlalu sulit untuk dapat menemukan rumusan tujuan pesantren secara tertulis, yang dapat dijadikan acuan tiap-tiap pesantren.89
Namun Madjid menyatakan, bahwa tujuan pendidikan pesantren berada sekitar terbentuknya manusia yang memiliki kesadaran setinggi-tingginya akan bimbingan agama Islam, weltanschauung yang bersifat menyeluruh, dan diperlengkapi dengan kemampuan setinggi-tingginya untuk mengadakan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup, dalam konteks ruang dan waktu yang ada ; Indonesia dan dunia abad sekarang.90
Akan tetapi secara esensial rumusan tujuan pesantren adalah sebagaimana firman-Nya Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(al-Taubah :122)
b. Sekolah / Madrasah
Dari tiga bentuk pendidikan yang disebutkan, pendidikan di sekolah dapat dikatakan sebagai pendidikan yang sebenarnya. Dalam pengertian, berbeda dengan sistem pendidikan di keluarga dan masyarakat, pendidikan di sekolah dijalankan secara formal. Dengan bimbingan seorang guru, para siswa diajar dan dididik mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupa dan keilmuan, serta dengan sistem dan aturan yang telah ditentukan.91
Berdasarkan perspektif sejarah, kata sekolah berasal dari bahasa Yunani schole, kemudian bahasa Jerman schedule dan bahasa Inggris school yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ”sekolah”. Dalam bahasa Yunani, schole berarti bebas dari kewajiban bekerja. Pada sat itu, masih berlaku perbudakan di Yunani, dan orang-orang yang disebut ”bebas dari kewajiban bekerja” adalah orang merdeka (bukan budak). Orang-orang ini membentuk kelompok-kelompok intelektualdan mendiskusikan bebragai macam ilmu, filsafat, serta problema aktual yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, kata schole berarti tempat mendiskusiakan ilmu dan filsafat. Hingga sekarang, sekolah diartikan sebagai tempat mengkaji, berbagai ilmu pengetahuan yang bersifat formal. Menurut al-Nahlawi, dalam kehidupan sosial dan dalam hubungannya dengan dua lembaga yang lain, institusi pendidikan sekolah berfungsi sebagai berikut :
1.menyempurnakan tugas keluarga dalam soal pendidikan.
2.memperluas wawasan dan pengalaman anak didik melalui transfer nilai dan peradaban
3.wahana penyucian dan pembersihan
Dengan alasan sebagai berikut :
1.manusia dilahirkan dalam kondisi fitrah
2.waspada terhadap yang buruk dan memilih hal-hal yang baik
Kenyataan menunjukkan, dewasa ini lembaga pendidikan forlmal lebih menitikberatkan penguasaan ilmu pengetahuan umum dan keterampilan. Sedangkan pembinaan keimanan dan ketakwaan belum mendapatkan porsi yang seimbang.92
1. Lembaga Pendidikan Sekolah
Pada dasarnya pendidikan di sekolah merupakan bagian dari pendidikan dalam keluarga, yang sekaligus merupakan lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Disamping itu, kehidupan di sekolah adalah jembatan bagi anak yang menghubungkan kehidupan dalam keluarga dengan kehidupan dalam masyarakat kelak.93
Akan tetapi sejak ditetapkannya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), posisi madrasah sejajar dengan sekolah umum. UUSPN No. 20 tahun 2003 lebih tegas lagi menyatakan bahwa madrasah adalah ”sekolah umum” sebagaimana sekolah umum lainnya.94 Maka sejak saat ini antara madrasah dan sekolah bukan lagi suatu lembaga pendidikan yang secara status berbeda. Bahkan dalam beberapa tempat ditemukan banyak lembaga pendidikan pesantren yang menggunakan nama sekolah tetapi dalam kurikulumnya tidak berbeda dengan kurikulum madrasah pada umumnya.
Akibatnya pesantren yang memiliki madrasah kini tidak lagi dapat berekspresi dengan bebas. Pengelola madrasah harus mengikuti aturan yang sudah menjadi kesepahaman antara Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional.95
BAB III
METODE PENELITIAN

Penelian ini adalah penelitian kualitatif96 – historis97 yang menggunakan pendekatan deskriptif98. Penelitian historis (historis research) adalah penelitian yang dimaksudkan untuk merekontruksi kondisi masa lampau secara objektif, sistematis, dan akurat yang hasilnya berupa narasi deskriptif (narative description).99
Pada penelitian kualitatif, data yang dikumpulkan umumnya berbentuk kata-kata, gambar-gambar, dan kebanyakan bukan angka-angka. Kalaupun ada angka-angka, sifatnya hanya sebagai penunjang. Data dimaksud meliputi transkrip wawancara, catatan data lapangan, foto-foto, dokumen pribadi, nota dan catatan lainnya. Termasuk di dalamnya deskripsi mengenai tata situasi. Deskripsi atau narasi tertulis sangat penting dalam pendekatan kualitatif, baik dalam pencatatan data maupun untuk penyebaran hasil penelitian.100
Idealnya sebuah riset profesional menggunakan kombinasi riset pustaka dan lapangan atau dengan penekanan pada salah satu di antaranya. Meskipun demikian sejumlah ilmuwan (dari berbagai disiplin ilmu) terutama dari kelompok kajian sejarah, sastra dan studi agama, bahkan juga kedokteran, biologi tidak selamanya tergantung dengan data primer dari lapangan.101
Mengkaji Manajemen SDM Pendidikan Pesantren Hidayatullah Dalam Pandangan Ustadz Abdullah Said peneliti menggunakan pendekatan Manajemen SDM, Pendidikan Islam dan ilmu-ilmu bantu yaang relevan, secara operasional meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
a.Menghimpun data-data mengenai latar belakang internal dan eksternal Ustadz Abdullah Said; framework, perkembangan pemikiran, serta pengaruh dan keterpengaruhan terhadap pemikiran lainnya.
b.Mengkaji Manajemen SDM Pendidikan Pesantren Hidayatullah yang diterapkan
1. Subyek Penelitian
Sasaran dalam penelitian ini adalah Ustadz Abdullah Said meliputi profil singkat, ide dan pemikirannya serta Manajemen SDM pendidikan yang diterapkannya dalam perjalanan Pesantren Hidayatullah di Balikpapan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa apapun bermula dari sesuatu yang kecil atau sederhana.
2. Sumber Data dan Responden
Sumber dari sejarah yang merupakan data yang digunakan dalam penelitiian historis dapat diklasifikasikan secara bermacam-macam. Antara lain remain, dokumen, sumber primer, sumber sekunder, materi fisik, materi tulisan dan sebagainya.102
Sumber primer dalam penelitian sejarah adalah sumber yang disampaikan oleh saksi mata. Bisa dalam bentuk catatan rapat, daftar anggota organisasi, dan arsip-arsip laporan organisasi. Sementara sumber primer dalam bentuk wawancara adalah wawancara langsung dengan pelaku sejarah itu sendiri.103 Secara operasional sumber data primer dimaksud setidaknya dapat disajikan dalam beberapa poin berikut :
a.Sumber data primer meliputi segala bentuk dokumentasi yang berisi tentang ide-ide, catatan harian baik tekstual maupun dalam bentuk instrumen yang lain (kaset atau CD). Hal ini dikarenakan belum adanya karya khusus beliau yang tersaji dalam bentuk tulisan secara utuh. Selanjutnya adalah seluruh catatan (buku, majalah, paper) yang membahas tentang ide, kiprah dan perjuangan Ustadz Abdullah Said dalam proses mendirikan dan membina SDM yang ditulis oleh orang-orang terdekat beliau semasa hidupnya atau secara langsung melakukan wawancara dengan saksi sejarah.
b.Data sekundernya meliputi buku-buku yang ditulis oleh kader-kader Hidayatullah baik oleh Departemen Dakwah maupun Departemen Pendidikan dan Departemen-Departemen lain dalam struktural organisasi Hidayatullah masa kini.
c.Responden dalam penelitian ini adalah generasi awal pendiri Pesantren Hidayatullah ; Sesepuh di Kampus Gunung Tembak; Ibu Aida Chered (Istri Ustadz Abdullah Said), Ustadz Manshur Salbu, Ustadz Hasym HS. Ustadz Abdul Latief Usman, Ustadz Abdurrahman Muhammad, Ustadz Ainur Rofiq.
3. Teknik Pengumpulan Data
Mengumpulkan data merupakan langkah yang tidak dapat dihindari dalam kegiatan penelitian dengan pendekatan apa pun, termasuk penelitian kualitatif terutama pada penelitian ini, karena desain penelitiannya tidak rijid alias dapat dimodiifikasi setiap saat, pengumpulan data menjadi satu fase yang sangat strategis bagi dihasilkannya penelitian yang bermutu.104
Untuk hasil yang maksimal peneliti menggunakan beberapa teknik berikut:
a.Interview yakni prosses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si peneliti dengan responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).105
b.Dokumentasi menurut Guba dan Lincolin (1981 : 228) mendefinisikan bahwa dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film, lain dari record, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik. Dokumen sudah lazim digunakan dalam pendidikan sebagai sumber data, karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan meramalkan.106 Dokumentasi sebagai data pendukung merupakan teknik pengumpulan data yang telah diakui keabsahan dan kevalidannya. Data-data tertulis, dokumen resmi, buku harian dan arsip-arsip sangat dibutuhkan dalam penelitian ini. Dalam hal ini dokumen yang relevan adalah dokumen yang menyimpan data informasi tentang segala hal yang terkait dengan aktivitas pendidikan di Hidayatullah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan teknik pengumpulan data tersebut peneliti yakin kebutuhan data dengan berbagai syarat validitas dan reabilitasnya dapat terpenuhi dengan baik. Karena penelitian yang ditempuh cenderung pada upaya-upaya mengumpulkan informasi sebagai syarat untuk menjabarkan variabel secara akurat.
4. Instrumen Pengumpulan Data
Sebagaimana definisi interview di atas maka peneliti dalam hal ini akan menggunaikan interview guide berupa daftar pertanyaan yang pada masing-masing responden memiliki titik tekan yang berbeda. Sedangkan instrumen untuk teknik pengumpulan data yang berupa dokumentasi peneliti akan menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya.
5. Analisa Data
Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan begitu data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Data mentah yang telah dikumpulkan perlu dipecahkan dalam kelompok-kelompok, diadakan kategorisasi, manipulasi serta diperas sedemikian rupa.107
Menurut Patton analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Ia membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian.108
Analisa data juga berarti proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Dalam penelitian ini, digunakan analisis data kualitatif dengan pendekatan induktif dalam menarik kesimpulan dari data yang ada. Artinya peneliti bertolak dari fakta, informasi dan data empiris untuk membangun teori. Atau berangkat dari kasus-kasus yang bersifat khusus berdasarkan pengalaman nyata (ucapan atau perilaku subyek penelitian atau situasi lapangan penelitian), untuk kemudian dirumuskan menjadi model, konsep, kategori, prinsip atau definisi yang bersifat umum.








BAB IV
PENYAJIAN DATA

A. Ustadz Abdullah Said
Untuk lebih mudah dalam memahami sajian data yang akan diuraikan nanti maka di sini peneliti ulas secara singkat sejarah hidup Ustadz Abdullah Said.109 Muhsin Kahar dilahirkan tepat pada hari proklamasi kemerdekaan R.I., Jum’at, 17 Agustus 1945 di sebuah desa bernama Lamatti Rilau, salah satu desa dalam wilayah Kecamatan Sinjai Utara Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Dengan ayah bernama Abdul Kahar Syuaib dan ibu bernama Aisyah.
Pendidikannya tertolong dengan adanya Sekolah Dasar yang waktu itu bernama Sekolah Rakyat di kampungnya. Di sekolah itulah dia belajar. Namun hanya sampai kelas III, dari tahun 1952 hingga 1954 karena terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya yang tercinta itu mengikuti sang ayah yang pindah ke Makassar.
Setelah itu sekolah dasarnya berlanjut di Makassar, diterima di kelas IV Sekolah Dasar No. 30. Pendidikanya berlangsung hingga tahun 1958 dan dia selalu menjadi bintang kelas karena menguasai seluruh mata pelajaran tidak terkecuali pelajaran menggambar dan berhasil meraih juara terbaik menggambar se-Kota Besar Makassar.
Pendidikan menengah dilanjutkan pada Pendidikan Guru Agama Negeri 6 Tahun (PGAN 6 tahun). Dia memilih sekolah ini untuk melanjutkan pendidikannya karena disamping mempelajari agama juga termasuk sekolah yang sangat didambakan waktu itu sebagai satu-satunya Pendidikan Guru Agama milik pemerintah di kawasan Indonesia Timur. Sebagaimana waktu masih di sekolah dasar, dii sekolah ini dia juga selalu menjadi bintang kelas dan terkenal sebagai siswa yang pandai pidato. Di samping itu dia juga selalu menjadi ketua kelas hingga kelas akhir pendidikannya. Dalam pertemuan-pertemuan selalu dia dipercayakan untuk memimpinnya. Memang sejak duduk di bangku PGAN 6 tahun itu dia sudah dikenal sebagai siswa yang berpengetahuan luas. Mungkin ini semua karena ketekunannya dalam belajar dan membaca. Tunjangan ID (beasiswa) nya setiap bulan memang hampir tidak ada yang tersisa, semua digunakannya untuk membeli buku-buku.
Lulus dari sekolah lanjutan 6 tahun ini juga dengan nilai tinggi. Sehingga mendapat tugas belajar ke IAIN Alauddin Makassar. Akan tetapi kuliahnya bertahan selama satu tahun saja, setelah itu dia memutuskan untuk berhenti. Dia merasa tidak ada tambahan ilmu yang didapat selama kuliah. Semua materi kuliah yang diberikan dosennya telah dibacanya semua. Akhirnya dia menarik kesimpulan bahwa dia duduk beberapa tahun di bangku kuliah cukup menyita banyak waktu dan energi, sementara hasilnya jauh tidak seimbang dengan apa yang telah dikorbankan. Kalau sekedar untuk mendapatkan predikat sarjana bukan itu yang dia perlukan. Lebih tepat menurut dia kalau aktif saja di organisasi, giat berda’wah dan gencar membaca. Itulah yang menjadi alasannya sehingga dia meninggalkan bangku kuliah.
Meskipun demikian tidak berarti dia kehilangan semangat menimba ilmu. Ketekunannya dalam membaca buku terlihat sejak dia duduk di bangku Sekolah Lanjutan (Pendidikan Guru Agama Negeri 6 tahun- Makassar). Bahkan ketika telah membina pesantren Hidayatullah Gunung Tembak Balikpapan setiap hari dia juga membaca tiga buah surat kabar ibu kota: Harian Merdeka ketika masih dipimpin B.M.Diah, yang akhirnya berganti nama menjadi Suara Pembaruan. Ini saja surat kabar yang selalu dibacanya karena surat kabar inilah yang setiap hari masuk Balikpapan waktu itu. Ditambah dengan surat kabar lokal, Manuntung kemudian berubah menjadi Kaltim Post dan Suara Kaltim. Majalah mingguan seperti TEMPO , GATRA, EDITOR, FORUM Keadilan, TOPIK, majalah tengah bulanan PANJI MASYARAKAT, Majalah Wanita KARTINI. Termasuk majalah TRUBUS dan majalah ASRI, yang khusus memuat model-model rumah dan pertamanan, juga tidak luput dari perhatiannya.
Apalagi pada waktu aktif menulis naskah kajian utama di majalah Suara Hidayatullah, gairah membacanya semakin besar. Karena beliau ingin majalah yang diterbitkan oleh Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah itu digandrungi pembaca terutama kalangan generasi muda. Dia membuat tulisan tentang rahasia kehebatan Islam dengan mengambil referensi dari berbagai sumber untuk lebih memudahkan daya tangkap dan pemahaman para pembaca dan pecinta kejayaan Islam.
Abdullah Said juga pernah aktif di organisasi pelajar yakni Pelajar Islam Indonesia (PII). Di organisasi kepemudaan Abdullah Said bergabung dengan Pemuda Muhammadiyah. Dia menjadi pengurus organisasi ini dari tingkat cabang di Malimongan Baru Makassar hingga pengurus wilayah Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra) priode 1966-1968. Abdullah Said juga melibatkan dirinya dalam ranah politik nasional. Ketika Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) terbentuk pada 20 Februari 1968 berdasarkan Keppres No 70/1968, Partai baru ini didukung oleh organisasi-organisasi Muhamamdiyah, Jami’atul Wshiliyah, Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (GASBIINDO), Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Wathan, Mathla’ul Anwar, Serikat Nelayan Islam Indonesia (SNII), Kongres Buruh Islam Merdeka (KBIM), Persatuan Umat Islam (PUI), Al-Ittihadiyah, Persatuan Organisasi Buruh Islam se Indonesia (PORBISI), Persatuan Guru Agama Islam Republik Indonesia (PGAIRI), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Al-Irsyad Al-Islamiyah dan Wanita Islam. Ini merupakan penjelmaan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang dibubarkan Presiden Soekarno pda tanggal 17 Agustus 1960, melalui Keppres No 200/1960.
Abdullah Said juga pernah mengikuti pendidikan di PERSIS Bangil, dan Pesantren Gontor di Ponorogo. Tetapi dia merasa apa yang dicarinya belum dia dapatkan selama upayanya menimba ilmu dan pengalaman di pulau Jawa. Akhirnya Ustadz Abdullah Said memutuskan untuk kembali ke Makassar, kota Anging Mammiri yang selalu dirindukan. Di Makassar dia kembali bergabung dengan kegiatan Ustadz Ahmad Marzuki Hasan di Kompleks Pendidikan Muhammadiyah, yang terletak di samping Mesjid Raya Makassar. Tidak seberapa lama dia pun mulai menyusun program pengkaderan yang lebih intens yang untuk ini dia perlu melibatkan sejumlah anak-anak binaan Ustadz Ahmad Marzuki Hasan dalam upaya pemberantasan maksiat yang tengah marak di kota Makassar dan sekitaranya.
Kemudian Abdullah Said hijrah ke pulau Borneo (Balikpapan Kalimantan Timur) Rabu malam menjelang hari Natal, 25 Desember 1969. Setelah dua hari dua malam diombang-ambingkan oleh gelombang Selat Makassar, akhirnya sampai juga pelayaran tersebut di Pelabuhan Kampung Baru pada pagi hari, yakni Sabtu ,27 Desember 1969. Bumi Balikpapan diyakini sebagai tempat yang ditakdirkan Allah SWT baginya untuk menghibahkan dirinya dalam bakti mengurus Islam. Keyakinan inilah yang selanjutnya mendorong Abdullah Said senantiasa aktif untuk berdakwah.
Pada tahun 1970 bertepatan dengan acara perayaan Isra’ dan Mi’raj yang diadakan di Karang Anyar, Balikpapan. Muballigh yang diharapkan mengisi acara tidak dapat hadir. Pihak KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) memberikan kesempatan kepada Muhsin Kahar yang baru beberapa hari menginjakkan kaki di kota Balikpapan untuk menggantikan menjadi nara sumber. Menurut keterangan beberapa orang yang sepertinya bernada berlebih-lebuihan bahwa sepanjang sejarah Balikpapan baru kali ini mendengar ceramah agama begitu mempesona. Alasannya, pidato yang diucapkan sangat lancar, penuh semangat dan dengan suara yang lantang serta humornya yang edukatif.
Selanjutnya pada tahun 1971, Ustadz Abdullah Said mengadakan Training Centre (TC) yang disebut TC Darul Arqom, bertempat di gedung SMP Muhammadiyah Gunung Kawi, Balikpapan. TC ini diadakan oleh Pengurus Muhamamdiyah Daerah Balikpapan. Peserta utamanya adalah siswa-siswa SMA Muhammadiyah yang telah dipilih oleh gurunya. Juga siswa-siswa dan sekolah umum yang dilibatkan oleh guru-guru Muhammadiyah yang mengajar di sekolah-sekolah tersebut. Tidak terkecuali orang-orang dewasa yang berminat. Tercatat pesertanya antara lain: Hasan Surdji, Suparno, Abdul Halim, Sudiono Arjo, Amin Mahmud, Sarbini Nasir, Nurkarim Enta, Makmur SK, Abdul Karim.
Orang-orang yang pernah mendapat sentuhan pembinaannya baik melauli TC Darul Arqom maupun kajian rutin kini mulai tercerahkan. Kondisi ini dipengaruhi oleh aktivitas Abdullah Said sebelum ini yang telah lama berpengalaman dalam membina organisasi-organisasi tempatnya berkiprah sewaktu masih di Makassar. Sehingga sangat memahami bagaimana mengarahkan anak-anak muda. Lewat pembinaan itu mereka tiba-tiba merasa memiliki kekayaan jiwa dan optimisme menghadapi masa depannya. Tidak seperti sebelumnya, senantiasa resah dan gelisah menghadapi berbagai macam problem kehidupan. Apalagi kalau berbicara tentang keterlibatan dalam perjuangan Islam, sangatlah jauh. Selama ini mereka merasa bahwa bukan mereka orangnya yang berhak bicara tentang hal semacam itu. Setelah mereka sering mendapat pengarahan tentang bagaimana arti hidup yang sebenarnya dan sering digelitik untuk menyadari kedudukannya sebagai khalifah Allah dipermukaan bumi ini, barulah menyadari bahwa ternyata hidup ini tidak sesulit yang selalu dibayangkan. Mereka juga baru menyadari bahwa di dalam diri mereka ada potensi raksasa yang dapat memecahkan berbagai problem. Suatu kompetensi yang tidak mereka sadari selama ini.
Pada Hari Rabu, jam 15.00 tanggal 3 Maret 1976, Abdullah Said menuju ke Gunugn Tembak Kelurahan Tritip Balikpapan. Peristiwa memasuki lokasi ini sering disebut peristiwa yang berkait dengan angka 3 yakni : hari kerja ke-3, jam 3, tanggal 3, bulan 3, hijrah ke-3, Km 33. Akhirnya peresmian Pondok Pesantren Hidayatullah diadakan di halaman masjid pada Hari Kamis 5 Agustus 1976. Atas anjuran Walikota Asnawie Arbain, malamnya anak-anak Pramuka dari kota Balikpapan mengadakan perkemahan di kampus. Panitia peresmian diketuai oleh Skoda (Sekretaris Kotamadya) Balikpapan, Drs. Awang Faisjal, Bc.Hk. dan Walikotamadya Balikpapan, H.Asnawie Arbain tercantum dalam undangan sebagai turut mengundang. Peresmian oleh Prof. Dr. K.H. Mukti Ali, MA Menteri Agama RI didampingi oleh K.H.Abdullah Syafi’i (ketua Majlis Ulama Jakarta) dan putrinya Tuty Alawiyah. Dari Samarinda Gubernur Kaltim, H.A. Wahab Sjahranie dan beberapa tamu dari Samarinda dan Balikpapan. Sejak itulah Pesantren Hidayatullah mulai mengokohkan diri sebagai lembaga dakwah, tarbiyah dan sosial yang mulai profesional.
B. Manajemen Pembinaan SDM Pendidikan dan Fungsinya
Secara sederhana dapat dipahami bahwa manajemen berarti mengatur orang lain untuk satu tujuan tertentu. Setiap organisasi berdiri dan tegak di atas dasar dan target atau tujuan yang ingin dicapainya. Dalam dunia pendidikan SDM tentu tidak dapat disamakan dengan pengertian atau entitas SDM pada umumnya. Pertama karena pendidikan bertujuan mencetak kader pelanjut perjuangan. Kedua lembaga pendidikan bukanlah satu institusi yang secara murni berorientasi profit. Dengan demikian SDM pendidikan adalah mereka yang perlu mendapat pembinaan terus-menerus agar dapat menjalankan fungsinya sebagai tiang peradaban manusia yakni sebagai transformator ilmu dan amal.
Secara sistematis manajemen akan lahir tatkala tujuan telah ditetapkan dan kesepakatan telah diamini. Meskipun demikian manajemen adalah aspek penting untuk tercapainya tujuan tersebut. Hanya saja tetap perlu diingat bahwa dalam dunia pendidikan faktor eksternal yang banyak dijadikan instrumen penilaian kualitas seseorang seperti yang banyak terjadi saat ini, tidak selamanya tepat dan efektif.110
Di sinilah peneliti menemukan suatu manajemen pembinaan manusia yang sangat berbeda dengan apa yang dibahas di banyak buku dan diskusi, seminar atau artikel tentang manajemen SDM selama ini. Manajemen SDM berbasis tauhid itulah tampaknya istilah yang tepat untuk fenomena ini. Karena manajemen yang berlaku adalah sebuah kultur yang secara sengaja disetting menumbuhkan jiwa kepemimpinan, amanah, keberanian, dan kedisiplinan tinggi. Ini karena Ustadz Abdullah Said telah berhasil menyediakan sebuah wadah yang secara praktis mengikat mereka yang berada di dalamnya dalam satu ikatan iman dan Islam (Jama’ah). Sebagaimana dinyatakan dalam salah satu tulisannya bahwa sistem kehidupan berjama’ah inilah yang bakal melahirkan mekanisme kerja yang saling menopang dalam tugas menciptakan citra Islami dalam penampilan.111
Bagi Ustadz Abdullah Said bukan manajemen yang pertama kali perlu dipikirkan, tapi aqidah dan keyakinan akan al-Qur’an itulah yang urgen dan hal pertama yang harus dimiliki oleh setiap muslim khususnya para pendidik di pesantren Hidayatullah. Sebab kecerdasan intelektual yang tidak diimbangi dengan kecerdasan spiritual hanya akan menambah problem umat saja. Ustadz Abdullah Said menegaskan “Mereka itulah yang dalam front perjuangan nantinya hanya ogah-ogahan, dan sangat merusak kedisiplinan serta sikap mental positif lainnya. Lebih lanjut penyakit ini ditularkan dengan sangat cepat, sehingga sebentar kemudian berubah menjadi bencana besar. Orang-orang seperti itulah sumber kehancuran ummat Islam.112
Jika penanaman aqidah dan keyakinan terhadap al-Qur’an berhasil, maka manajemen bukanlah suatu kendala yang menyita energi dan waktu. Manajemen itu tercermin dalam mekanisme kerja itu sendiri yang terbentuk oleh kultur yang mengakar. Sehingga manajemen tidak sebagaimana dipahami banyak orang yang identik dengan suasana “pemaksaan”. Tapi lebih karena kesadaran, apalagi tujuan yang hendak dicapai oleh pesantren adalah sebuah proyek besar yang membutuhkan kesiapan mental spiritual yang handal.113
1. Perencanaan
Manajemen SDM adalah dalam rangka memelihara dan meningkatkan SDM pada kualitas tertenut, agar SDM dimaksud dapat memenuhi kualifikasi yang ditetapkan. Sehingga dapat mencapai tujuan sebagaimana yang telah direncanakan. Demikian pula halnya dengan Pesantren Hidayatullah Balikpapan. Sejak pertama berdiri bahkan jauh sebelum itu perencanaan mengenai pesantren yang unggul dan solutif bagi problematika umat telah tergambar dalam bentuk rencana-sencana. Meskipun dalam hal ini masih bersifat sederhana dan belum disosialisasikan kepada banyak orang dalam bentuk sajian tertulis.
Cita-cita besar Ustadz Abdullah Said telah menggelora sejak dia memutuskan diri untuk keluar dari bangku kuliah. Di sini terlihat kemampuan dia dalam menganalisa problem dan cara yang tepat untuk memperbaiki keadaan. Hal ini menjadi inspirasi gerakan-gerakan Hidayatullah selama ini, dimana pendidikan awal yang terselenggara pada masa awal pesantren beroperasi sangat sulit diterima oleh logika umum masyarakat.114
Dalam kolom Ta’aruf Ustadz Abdullah Said menjelaskan bahwa
Tanpa disengaja, seperti berjalan secara alamiah, para santri angkatan pertama tidak banyak berada di kelas formal unuk belajar. Mereka justru lebih banyak di lapangan,menggeluti pekerjaan-pekerjaan yang tidak ringan. Nampaknya mereka ditakdirkan menjadi angkata perintis. Hal ini terbuktik bahwa merekalah yang dalam periode selanjutnya membuka cabang-cabang di daerah-daerah. Hal ini di luar rencana, tapi semata-mata ketentuan yang Maha Kuasa.
Sebagai angkatan perintis mereka memang mutlak harus memiliki mental yang tangguh, tak lekang karena panas, tak lapuk karena hujan. Mental baja seperti ini tak bisa diperoleh begitu saja, tapi harus melalui latihan yang terus-menerus. Rupanya situasi dan kondisi saat itu sangat memungkinkan terbentuknya mental demikian. Mereka tak mungkin diam, sebab tantangan datang bertubi-tubi, sehingga secara alamiah mereka mendapat tempaan yang lebih keras. Hal itu justru semakin menambah keyakinan, bahwasanya semakin bertumpuknya tantangan merupakan isyarat terbukanya kesempatan untuk membaca lompatan jauh ke depan, sebab tantang itu dapat memancing pengerahan tenaga secara maksimal. Oarng yang sudah terbiasa menghadapi tantangan dan mampu memanfaatkannya, akan memiliki irama kerja yang serius. Bila hal ini berlangsung lama akan membentuk watak dan kepribadian. Ada atau tidak adanya tantangan mereka tetap serius.115

Sasaran utama pendidikan adalah membentuk watak kepribadian yang lebih Islami, penuh tanggung jawab pada agama dan lingkungannya.116 Oleh karena itu upaya penanaman jiwa tauhid, mengikis thaga’ adalah dua aspek utama yang mendapat perhatian serius dalam proses pendidikan di Pesantren Hidayatullah selama ini. Pada tahap ini belum banyak mata pelajaran diajarkan kepada para santri. Hal ini dikarenakan sistem klasikal masih belum menjadi suatu hal yang perlu dan mendesak. Akan tetapi ketiadaan sistem klasikal bukan berarti pendidikan tidak berjalan. Justru melalui kehidupan sehari-hari para santri secara langsung dapat merasakan bagaimana keagungan dan kebesaran Allah SWT yang senantiasa dianugerahkan kepada dirinya. Melalui sistem kerja lapangan dan kerja bakti suatu pekerjaan yang biasa saja di masyarakat itu justru memiliki makna istimewa dan unik dalam proses pembinaan di pesantren Hidayatullah.
Sistem pembelajaran yang dilakukan dianalogikan seperti Nabi mengajar di rumahnya Arqom bin Abil Arqom, dimana di dalamnya sekelas antara orang tua dengan anak-anak. Antara bangsawan dan budak. Semua duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Pelajaran paling utama dan paling tinggi melebihi semua mata pelajaran yang dikenal orang adalah mempelajari dan meresapi serta mengahayati La Ilaha Illallah- Muhammadarrasulullah.117 Dimana dengan penghayatan Syahadat tersebut seorang muslim dapat meraih kebahagiaan hakiki yang dijanjikan Allah SWT.118
Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu yang diikuti dengan perkembangan ilmu dan teknologi menjadikan Ustadz Abdullah Said merasa perlu untuk mendirikan pendidikan formal yang “ideal”. Pendidikan formal atau klasikal mulai dari TK sampai Aliyah, putra dan putri terpisah merencanakan perguruan tinggi lebih jauh adalah bagaimana memanfaatkan semua sarana yang ada sebagai fasilitas untuk pendidikan sebagai wujud “long life education”, serta mewujudkan suasana yang mendidik.119
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ustadz Syamsu Rizal Palu120 ketika itu sekitar tahun 1990 Ustadz Abdullah Said memberikan amanah kepadanya untuk mengurus proses pendirian pendidikan formal jenjang menengah atas atau aliyah. Ketika itu tidak diperlukan energi khusus dan keterampilan khusus. Kepercayaan masyarakat dan pemerintah terhadap Pesantren Hidayatullah menjadikan proses perizinan pendirian Aliyah di kampus tidak mengalami banyak kendala. Justru pihak Departemen Agama menyambut antusias niatan positif pesantren ini.
Kemudian agar pendidikan formal tetap menjadi pendukung gerakan dan idealisme Hidayatullah maka kurikulum yang diterapkan sedikit mungkin harus tetap memasukkan nilai-nilai SNW dalam praktiknya. Sehingga siswa atau santri di pesantren ini tidak saja cerdas intelektual tetapi juga cakap emosional spiritual yang sensitivitas terhadap problematika umat dan senantiasa memiliki motivasi untuk melakukan pembenahan.
Untuk itu maka diperlukan SDM pendidikan yang memahami arah perjuangan Hidayatullah inilah yang selanjutnya disebut kader. Secara sederhana bentuk perencanaan pembinaan SDM pendidikan di Pesantren Hidayatullah tidak jauh berbeda dengan pembinaan bagi santri dan kader pada umumnya. Hanya saja karena tuntutan administrasi mereka yang menjadi guru diprioritaskan yang memiliki background pendidikan, seperti dari IKIP atau pesantren.
Sehingga tidak mengherankan jika para pendidik muda yang Ustadz Abdullah Said boyong sejak terbetiknya niat mendirikan Pesantren Hidayatullah adalah mereka yang memiliki keahlian untuk mentransformasikan ilmu (layak mengajar), di antaranya adalah Ustadz Hasym HS dari Gontor yang mendapat amanah mengajar bahasa Arab, Ustadz Hasan Ibrahim dari Pesantren Krapyak Yogyakarta dan lain-lain.
Sesuai dengan visi dan misi Hidayatullah maka bentuk perencanaan pembinaan SDM termaktub sebagaimana beriktu :
1.Pengikisan Thaga
2.Penanaman Komitmen
3.Pemberian Amanah
Pengikisan tagha atau kesombongan adalah hal utama dan pertama yang harus segera ditangani. Biasanya mereka yang datang ke pesantren harus melalui jenjang pertama berupa Training Center yang di kalangan pesantren populer dengan istilah seleksi alam. Kemudian dilanjutkan dengan penanaman komitmen di mana dengan TC yang dijalani dengan sabar itu akan muncul rasa kepemilikan dan kesiapan untuk dikomando. Selanjutnya diberikan amanah yang sejatinya juga merupakan proses pembinaan yang sesungguhnya.
Mengapa TC menjadi satu hal yang bersifat wajib bagi setiap SDM baru? Karena manusia secara hakikat adalah makhluk yang memiliki sifat-dasar ganda, yakni tubuh dan jiwa, makhluk fisik dan ruhani sekaligus.121 Yang dalam perjalanannya manusia membutuhkan pengetahuan akan eksistensi Tuhan yang telah menciptakannya. Pendidikan dan pembinaan adalah salah satu media untuk mencapai pengetahuan tersebut, pengetahuan tentang Tuhan (al-ma’rifah) dan keesaan absolute-Nya, bahwa tuhan adalah Rabb sejati dan objek penyembahannya (al-Ilah).
Dengan demikian maka manusia dapat memposisikan dirinya dengan tepat dan cermat yang kita kenal dengan istilah sesuai dengan fitrah.122 Pembinaan yang terus-menerus akan menghidupkan hati, jiwa, dan intelektualitasnya. Sehingga SDM yang diharapkan oleh Ustadz Abdullah Said adalah SDM yang kuat bekerja, berpikir sekaligus kuat dalam beribadah. Untuk itu secara konsep dan metode telah tersusun dalam satu manhaj pembinaan berupa sistimatika nuzulnya wahyu. Dimana setiap SDM pendidikan harus senantiasa dituntut kesadarannya untuk bersyahadat dengan baik, meyakini al-Qur’an, membudayakan sholat jama’ah dan sholat tahajud, serta senantiasa punya kepercayaan dir untuk berdakwah dan menjadi agen umat yang mendamaikan dan mempersatukan umat.
a. Tujuan
Sejak masih remaja keinginan untuk melakukan pengkaderan selalu memenuhi benaknya. Hal ini semakin tampak ketika Abdullah Said terjun menggeluti dakwah bahkan dirinya sangat menyadari akan kurangnya kuantitas dan kualitas generasi pelanjut yang siap mengemban misi Islam ini. Karena itu sejarah pembinaan di Hidayatullah merupakan bagian dari rangkaian perjalanan mujahadah melanjutkan cahaya Allah. Sebagai perintis dan pendiri lembaga pesantren Hidayatullah maka prioritas utama dalam pembinaannya adalah mencetak kader-kader dakwah dan selanjutnya baru pada kader pendidikan.
Tujuan utama dari pendidikan di pesantren Hidayatullah adalah mencetak kader Islam yag siap berjuang membela dan menjunjung tingi Islam. Karena tidak mungkin Islam akan berkembang dengan baik tanpa dukungan barisan muda yang siap untuk mengemban risalah kenabian ini. Sementara itu di sisi lain pendidikan agama yang ada telah mengalami pergeseran nilai.123 Lebih jelas dinyatakan langsung oleh Ustadz Abdullah Said dalam salah satu tulisannya bahwa kemunduran umat Islam ini bukan karena Islam tidak memiliki konsep solutif atas problem yang dihadapi. Tetapi lebih karena umat Islam sudah tidak bersungguh-sungguh dalam memikirkan Islam. Untuk Islam hanya mereka sediakan dalam bentuk seminar, diskusi dan tidak dalam praktik yang nyata.124
Secara singkat tujuan pendidikan yang dibangun Ustadz Abdullah Said melalui Pesantren Hidayatullah ini adalah :
1. Melahirkan insan sejati (bertauhid)
2. Meyakini Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber kebenaran
3. Menjadikan Maslahah Umat Islam sebagai prioritas
4. Melahirkan insan yang haus ilmu dan rajin beramal
b. Program
Kerancuan berpikir yang merembet dalam dunia pendidikan Islam telah lama Ustadz Abdullah Said sadari. Beliau nyatakan bahwa salah satu seminar yang disponsori kelompok pengkajian Filsafat Islam IAIN Sunan Kali Jaga kini menjadi Universitas Islam Sunan Kali Jaga Yogyakarta tentang Islam dan Orientasi Pemecahan Masalah Pembangunan di Indonesia sungguh sangat memprihatinkan.125
Ini adalah salah satu fenomena di mana ilmu tidak lagi mendorong umat untuk beramal. Oleh karena itu program yang digencarkan dalam pembinaan SDM Pendidikan di pesantren Hidayatullah adalah dengan membiasakan diri untuk melakukan hal-hal berikut:


- Sholat Berjama’ah
Mengenai shalat berjama’ah ini tidak perlu diragukan lagi kekuatan syar’inya. Dalam salah satu hadits Nabi SAW menyatakan bahwa jika ada kaum muslimin yang meninggalkan shalat berjama’ah (tanpa udzur syar’i) maka Nabi sendiri yang akan datang dan membakar rumah-rumah mereka.126
Lebih lanjut Ustadz Abdullah Said menjelaskan bahwa shalat itu bukan sekedar upacara ritual sakral semata, tetapi juga merupakan metode pendekatan diri kepada Tuhan, sarana komunikasi dengan pencipta alam ini. Dalam hal ini ustadz Abdullah Said mengambil do’a di antara dua sujud sebagai bukti.
Doa itu bukan sekedar syarat syahnya shalat yang kita lakukan tanpa ada kaitannya sama sekali dengan problem kehidupan yang sementara kita hadapi. Tetapi butir-butir doa yang diperntahkan kepada kita megucapkannya ini adalah semacam daftar usulan proyek (DUP) dan daftar isian proyek (DIP) yang diajukan kepada Tuhan. Dan tidak perlu diragukan kalau doa yang diucapkan itu sekedar formalitas, dimana Tuhan tidak bermaksud memperkenankannya. Sungguh hal ii tidak mungkin. Allah SWT sendiri menyusun materi doa ini dengan berdasarkan apa yang merupakan kebutuhan manusia, dan bagi Allah tidak ada kesulitan sama sekali untuk memenuhi harapan ini. Anggaran belanja Tuhan tidak tergantung dengan migas dan non migas, tapi setiap saat bisa membuat alokasi tanpa harus konsultasi dengan siapa-siapa127.

RABBIGHFIRLI; bermakna rehabilitir potensi saya ya Allah, rehabilitir eksistensi keberadaan sya, dalam rangka merehabilitir seluruh proyek pembangunan diri saya ya Allah.
WARHAMNI; limpahkan kasih sayang kepada saya ya Allah. Bentuk kasih sayang itu terserah kepada-Mu.
WAJBURNI; berikanlah wibawa, berikan pamor, berikan pesona, berikan kharisma, berikan kekuatan, ketegaran dan kesegaran. Bagaimana wujudnya terserah kepada-Mu ya Allah.
WAHDINI; bimbinglah saya, berikan jalan yang lebih efektif; yang lebih ekonomis, jalan pintas yang lebih cepat mencapai sasaran dan tujuan.
WARZUQNI; berikan saya potensi, berikan saya fasilitas, berikan iklim berikan suasana, sehingga saya bisa berbuat lebih banyak lagi dan bergerak lebih leluasa.
WA’AFINI; berikan keutuhan, kesehatan jasmani dan ruhani agar saya bisa eksis sebagai khalifah dengan sempurna.
WARFA’NI; angkatlah martabatku; naikkan harkat dan kualitas pribadi saya agar tidak jadi budak, baik secara langsung ataupun tidak langsung dari bangsa-bangsa seperti Jepang, Amerika, Rusia dan dari siapapun juga. Tetapi jadikan saya sebagai majikannya.128

Demikian Ustadz Abdullah Said melihat urgensi shalat dan shalat berjama’ah khususnya. Implementasi dan standarisasi keimanan seseorang baik atau tidak dapat dilihat dari kualitas shalat berjama’ahnya. Karena shalat merupakan ibadah intim antara seorang hamba dan Tuhannya.
- Qiyamul lail
Secara hukum tahajjud adalah ibadah sunnah muakkad. Shalat ini hukumnya wajib sebelum tururnnya ayat ke dua puluh surah ini. Shalat ini adalah shalat yang rutin dikerjakan oleh Na I sebelum turunnya shalat wajib lima waktu. Bahkan setelah perintah shalat lima waktu telah diwahyukan beliau tetap mengamalkan ibadah tahajjud ini hingga akhir hayatnya. Bahkan dalam menjalankannya seringkali kaki Nabi mengalami bengkak-bengkak.
Sebagaimana ditulis oleh DR. Abdul Mannan dalam bukunya Membangun Islam Kaffah Merujuk Pola Sistematika Nuzulnya Wahyu bahwa seringkali dalam tahajjudnya Nabi Muhammad SAW meneteskan air mata hingga berlinang dan membasahi kedua belah pipinya. Bahkan isak tangis, meronta mengiringi rintihan do’a yang penuh haru dan harap. Beliau adalah orang pilihan yang dijanjikan surga tertinggi oleh Allah SWT. Namun ibadahnya tak terkalahkan oleh siapapun termasuk malaikat. Inilah sosok pemimpin revolusi idiologi tauhid yang memberikan contoh tauladan kepada umatnya.129
Jika ditegaskan bahwa tujuan pendidikan di Hidayatullah untuk mewujudkan Insan yang siap mengemban Islam maka tahajjud ini adalah media yang tepat dan efektif untuk mewujudkannya. Harapan Islam tegak danjaya di persada bumi merupakan impian Rasulullah SAW. oleh karena itu sudah selayaknya jika para ulama dan tokoh masyarakat terutama para guru berupaya semaksimal mungkin untuk melakukannya agar tidak pernah mengalami kekeringan spiritual dan kelemahan mental dalam menjawab problem keumatan.
Karena begitu dahsyatnya pengaruh qiyamul lail maka Rasulullah SAW pun menyatakan : bahwa jika memang tidak bisa shalat lail dalam jumlah secukupnya menurut sunnah satu rakaat saja, yang penting jangan sampai malam itu tidak ditandai dengan shalat lail. Bahkan seorang ulama pada masa tabi’it tabi’in yang ketika itu telah menginjak usia 60 tahun merasakan sedih yang uar biasa jika fajar telah menyingsing sementara ia masih lelap dengan tidurnya.130
Menyadari beratnya ibadah ini bagi umat Islam kontemporer yang sedang dalam keadaan tertindas dalam segaa bidang kehidupan ini menarik untuk kita renungkan rangkaian do’a yang ditulis oleh salah satu kader Ustadz Abdullah Said yakni DR. Abdul Mannan yang kini menjabat sebagai ketua umum Dewan Pimpinan Pusat Hidayatullah periode 2005-2010 sebagaimana berikut131 :
Hanya pintu ampunan-Mu ya Rabb yang kami ketuk setiap malam, tentunya Engkau tidak bosan dan enggan mendengar rintihan do’a hajat kami. Kami datang bersimpuh di hadapan-Mu dengn berlumuran dosa karena takabbur dalam berjuang. Bimbinglah kami agar tidak tersesat jalan dalam mengabdi kepada-Mu. Tumbuhkanlah himmah jihad dalam jiwa kami, ukirlah kalimah tauhid dalam relung qalbu kami, dan jnganlah Engkau lupakan kami walaupun sekejap. Satukanlah kami dengan orang-orang yang memiliki ruhul jihad untuk memperjuangkan Ad-Din-Mu. Dan berikan kemampuan kepada kami untuk bangun tengah malam, melakukan shalat tahajjud.
Lebih dari itu jauh sebelum itu Ustadz Abdullah Said meneaskan bahwa qiyamul lail bukanlah pekerjaan yang ringan, kita harrus memiliki sikap yaag penuh keseriusan yang dapat dinilai sebagai mujahadah dan perjuangan yang tinggi yang untuk itu kita harus menghadapi pertarungan demi pertarugan. Sebagaimana firman-Nya :
Renggang tulang rusuk merea dari tempat pembaringan karena keinginan berdo’a kepada tuhannya dalam keadaan takut dan penuh harap serta keinginan membelanjkan sebagian hartanya. (Q.S. 32 : 16)
Karenanya qiyamul lail merupakan program utama yang Ustadz Abdullah Said programkan dalam proses pembinaan SDM pendidikan di pesantren Hidayatullah. Jika kita mengharap kemenangan Islam maka kemampuan diri dan komitmen kita untuk menjalankannya adalah standar utama seseorang benar-benar bermujahadah untuk itu. Bahkan jika materi-materi perintah lainnya yang terdapat dalam program ini dapat dijalankan dengan baik maka kita akan melaj pada tingkat berikutnya. Yakni tingkat keseriiusan berfikir tentang nasib umat Islam dewasa ini, dapat dipastikan bahwa tantangan apa saja yangdiperhadapakan kepada Islam kita akan mampu menjawabnya.132
- Menderas al-Qur’an
Menderas al-Qur’an berarti mengulang firman Allah. Hal ini karena Rasulullah SAW senantiasa menderas al-Qur’an. Begitupula sahabat, sampai-sampai ada di antara mereka yang mampu mengkhatamkan al-Qur’an dalam wakatu tiga hari, satu minggu, dan ada yang satu bulan. Mereka mendapatkan julukan “Al-Qur’an berjalan”, karena amalan mereka yang senantiasa menderas, menghafalkan dan mengkaji serta mengamalkan al-Qur’an.133
Menderas al-Qur’an secara perlahan dan tepat makharajnya, menghayati maknanya, meresapi maksudnya dan menjiwai ruhnya akan memperoleh kekuatan ruhani. Jika seorang guru sudah pada tigkat menjiwai ruh al-Qur’an maka jiwanya akan penuh dengan hujjah. Rongga dadanya sarat dengan nuansai waahyu, sehingga setiap yang dikatakannya memiliki bobot. Inilah yang disebut dengan Qaulan Staqilan.134
Lebih spesifik lagi Ustadz Abdullah Said memberikan bimbingan bahwa dalam membaca al-Qur’an harus penuh keseriusan dan konsentrasi. Karena yang kita baca adalah firman Tuhan pencipta alam semesta. Membacanya dengan penuh harap untuk mendapatkan sesuatu di balik untaian-untaian kalimat itu sebagaimana fungsi al-Qur’an itu sendiri sebagai pedoman hidup, tuntunan menuju kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.135
- Dzikrullah
Salah satu fungsi dzikrullah adalah senantiasa mengingat Allah SWT serta menjaga diri dari godaan Syetan. Allah menyatakan bahwa dzikir adalah sebuah pekerjaan besar (Q.S. al-Ankabut : 45) dikatakan demikian karena dengan melakukan dzikir selalu berarti kita telah berhasil melakukan kontak dan hubungan dengan pusat eksistensi kehidupan. Dengan inilah keinginan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang mungkin dianggap sebagian orang sebagai mustahil tidak akan sulit untuk mewujudkannya.136
Perlu dicatat bahwa dalam hal ini jangan sapai dibayangkan bahwa orang yang selalu melakukan dzikir itu adalah mereka yang hanya tinggal diam merenung. Tetapi orang yang senantiasa mampu membawa hasil pandangannya dan hasil rekaman panca inderanya serta pikirannya bermuara menuju hanya kepada Allah SWT.
- Tawakkal
Tiada kekuatan apapun dalam diri manusia untuk menghadapi godaan Syetan. Penguasaan teknik bela diri bukanlah senjata yang tepat untuk melumpuhkan serangan Syetan. Syetan hanya dapat ditundukkan dengan dzikrullah dan tawakkal ila al-Allah. Sebagaimana firman-Nya :
        
(Dia-lah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Maka ambillah dia sebagai Pelindung. (Q.S. al-Muzzammil : 9)

Menjadikan Allah SWT sebagai pelindung merupakan pertarungan sengit antara iman dan nafsu. Manusia memiliki kecenderungan melupakan Rabbnya dan terjebak pada keinginan-keinginan pemuasan terhadap nafsu. Jika dia adalah seorang pembesar maka nafsunya akan mendorong dia untuk berbuat jahat dan jika demikian maka rakyatyalah yang akan menanggung akibatnya, demikian seterusnya.
Rasulullah SAW senantiasa memberikan tausiyah kepada para sahabatnya. Kewajiban manusia adalah berupaya yang terbaik dan selanjutnya menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. sehingga seorang Mulsim tidak akan hidup dalam pagar ketegangan, stress dan putus asa. Karena setiap yang terjadi adalah hikmah yang tentu bukan tanpa arti.137
- Sabar
Mendidik anak manusia bukanlah pekerjaan ringan. Oleh karena itu hal pertama yang perlu diperhatikan adalah mental para guru (SDM pendidikan)nya. Kesabaran para SDM pendidikan dalam menjalankan amanahnya adalah faktor dominan yang akan mempengaruhi kualitas out put sekaligus out come peserta didiknya. Oleh karena itu dalam pesantren pembinaan berlaku bagi semua lapisan tidak terkecuali adalah para guru.
SDM pendidikan adalah pemimpin bagi murid-muridnya dan kesabaran adalah media untuk mengetahui kualitas kepemimpinan SDM pendidikan yang ada. Karena kesabaran merupakan cermin kematangan berpikir dan ketangguhan mental seorang pemimpin. Terkait dengan masalah ini tentu Nabi SAW adalah figur pemimpin jujur, amanah, komnikatif, jenius yang patut kita jadikan contoh dalam menjalankan amanah sebagai pendidik.
Terlebih dengan kondisi pesantren Hidayatullah yang masih relatif baru memerlukan upaya keras untuk menarik hati umat untuk bersama membangun masyarakat Islami yang dicita-citakan selama ini. Kesabaran adalah hal mutlak untuk dapat menjalankan proyek besar ini.

          
     
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan. (Q.S. al-Nahl : 67)
- Hijrah
Hijrah adalah hal terakhir dalam program yang dicanangkan untuk memelihara aqidah tetap dalam kondisi prima. Jika qiyamul lail berpasangan dengan tartil al-Qur’an, dzikir dengan tawakkal maka sabar bergandengan dengan hijrah. Sinergi qiyamul lail dan tartil al-Qur’an akan menghasilkan qaulan layinan (perkataan yang lembut), qaulan tsaqilan (perkataan yang berbobot), qaulan baliighan (perkataan yang indah), qaulan ma’rufan (perkataan yang baik), qaulan sadiidan (perkataan yang tegas) dan qaulan kariiman (perkataan yang penuh hormat).
Secara historis hijrah telah berhasil menyeleksi kader-kader Nabi SAW, diantara mereka kelak ada yang menjadi negarawan dan diplomat ulung. Karena di lokasi hijrah itu tumbuh rasa soidaritas, tolong-menolong, berbagi hati, dan soliditas yang belum pernah ada sebelumnya. Dalam konsep perencanaan pembinaan di pesantren Hidayatullah maka hijrah adalah bentuk komitmen dan loyalitas seluruh warga dan santri untuk senantiasa tunduk terhadap perintah Allah dan larangan-Nya yang telah dispesifikasikan dalam bentuk program, aturan main dan berbagai kebijakan lainnya. Sehingga dengan hijrah berarti dia siap menerima pembinaan yang berlangsung di pesantren Hidayatullah.
Keenam unsur di atas adalah media yang dianggap efektif untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Sehingga bukan hal yang aneh jika Hidayatullah saat itu identik dengan keunggulannya dalam ibadah tahajud dan shalat berjama’ahnya.
c. Materi
Enam unsur di atas yang menjadi program utama di pesantren adalah suatu hal yang memerlukan pemahaman dan keyakinan yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu guna mendukung suksesnya program tersebut diperlukan materi pembinaan yang tepat. Untuk mengatasi hal tersebut maka lahirlah satu ide hasil ijtihad beliau yang kini dikenal dengan istilah Sistematika Nuzulnya Wahyu atau lebih populer dengan sebutan SNW.
SNW adalah tahapan turunnya wahyu yang dimulai dari surah al-“alaq sampai pada surah ke lima dari al-Qur’an yakni al-Fatihah. Secara sederhana dapat disimpulkan dalam beberapa paket; 1) paket ma’rifat. 2) paket khittah. 3) paket tazkiyah. 4) paket dakwah. 5) paket Fatihah yang menargetkan akan lahirnya pemahaman konsep Islam secara umum dan siap menjalankan Islam secara kaffah.138
d. Kurikulum
Ustadz Abdullah Said memiliki impian suatu saat akan lahir kader-kader yang siap mengemban misi Islam dan istiqomah dalam perjuangannya. Untuk itu maka dibutuhkan kurikulum yang dapat dijadikan acuan dasar para SDM pendidikan dalam menjalankan amanahnya sebagai pendidik, pengasuh dan pengajar bagi para santri. Untuk ini Ustadz Abdullah Said memeti pelajara dari kondisi yang dialami oleh Muhammad SAW sebelum menerima wahyu sebagai bahan pembinaan di pesantren Hidayatullah.139
Ustadz Abdullah Said meyakini bahwa jika ingin menang maka harus secara total memahami sejarah Nabi Muhammad SAW dalam membina para sahabat dan segala hal yang dialami oleh Nabi SAW dalam perjalanan dakwahnya bahkan jauh sebelum kenabian. Inilah pembinaan yang dinilainya sebagai langkah yang strategis untuk mewujudkan izzul Islam wal Muslimin. Sejak itulah dikenal fase-fase pembinaan; fase yatim, fase menggembala, fase berdagan, fase ber-Khadijah dan fase bergua Hira.140
Terkait dengan hal ini Ustadz Manshur Salbu141 mengutip pendapat Ustadz Abdullah Said dalam salah satu tulisannya sebagai berikut142 :
Setiap episode prikehidupan Nabi Muhammad SAW sebelum terutus sebagai rasul berkaitan benar dengan tugas risalah berikutnya. Satu misal kasus “keyatiman”. Sejak usia dua bulan dalam kandungan ditinggal mati sang ayah, disusul bundanya di usia enam tahun.

Semua ini taqdir Ilahy. Kitapun tidak tahu persis apa hikmah dan maknanya, Allah yang Maha Tahu. Sepintas dapat dilihat episode keyatiman berdampak pada diri Nabi. Jiwanya tegar bagai baja didalam menghadapi tantangan. Dilain segi hatinya lembut nan karimah bagai salju. Perjalanan Sang Yatim padang pasir ini melaju dengan langkah pasti mengarungi kedahsyatan hidup memperjuangkan al-haq.

Dari usia nol tahun tak pernah sepatahpun terucap dari lisannya “abiy.....! abiy.....!. Dan di usia tujuh tahun tak lagi berucap Ummiy....! Ummiy.......! Maklum Bapak dan Bundanya sudah bersemayam di alam kubur. Sebagai insan dia memerlukan tempat mengadu. Bisa saja dia mengadu kepada sang paman, Abu Thalib, tapi pamannyapun terbebani biaya hidup anak-anaknya yang cukup banyak, dia orang miskin. Maka kalimat Ya Rabbiy......! Ya......Rabbiy selalu dia kumandangkan untuk mengatasi keinginan mamanggil Bapa dan Ibunya sembari menengadahkan muka ke langit. Keprihatinan demi keprihatinan dalam masa yatim itu menggiringnya ke jenjang berikutnya meniti kehidupan dengan sukses. Berakit-rakit ke hulu rupanya mesti Beliau lalui, berenang-renang ke tepian sebagi natijah juangnya.

Dari fase keyatiman ini diharapkan akan lahir kader-kader yang memiliki ketahanan mental dan kebesaran jiwa menghadapi tantangan sebesar apapun, memiliki jiwa independensi, kemandirian, “sensitivitas kemanusiaan”, bebas dari thaga’. Akan tetapi mendesain kurikulum yang seperti ini diakui cukup sulit dan tidak mudah terlebih jika hendak diterapkan dalam konteks pendidikan modern. Pun demikian dengan segala keterbatasan dalam mendesain kurikulum tadi pembinan dengan metode pengkondisian keyatiman ini dinilai cukup berhasil. Hal ini terlihat dari kader-kader awal yang dapan dihandalkan. Mereka memiliki jiwa mandiri, percaya diri, dan ketergantungan kepada Allah SWT sangat besar.143
Sementara itu dari fase menggembala target yang diharapkan adalah adanya sebuah wadah latihan untuk membina kesabaran dan ketabahan untuk penempaan mental sebagai calon pemimpin. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW telah berhasil menekan kejengkelannya menghadapi kambing-kambingnya. Dalam satu kisah dinyatakan bahwa sering Muhammad mengejar kambingnya yang terpisah dari kawanannya hingga kelelahan. Lalu tatkala kambing tersebut telah tertangkap maka dipeluknya kambing tersebut seraya berkata “engkau lelah dan akupun lelah”.Jika Nabi sebagai utusan Allah mampu bersabar dengan tabiat kambingnya yang nakal maaka tidak layak jika ada seorang pendidik yang tidak mampu bersabar dengan kondisi anak didiknya.
Jika menggembala menjadi inspirasi untuk membina kesabaran maka berdagang diproyeksikan untuk menghasilkan anak didik yang memiliki jiwa mandiri. Oleh karena itu pada masa awal pesantren pemandangan santri dan warga mendapatkan proyek-proyek adalah suatu hal yang lumrah. Meskipun tampak sederhana tetapi proyek-proyek tersebut anak didik dilatih membuka usaha dan memegang amanah. Proyek-proyek tersebut dimodali oleh yayasan. Bagaimana kepala-kepala proyek bersama teman-temannya mengelola uang dan alat-aat yang diamanahkan itu, inilah letak latihannya. Waktu itu proyek yang dijalankan adalah penanaman kelapa, kemiri, pisang dan penanaman tanaman lindung, perikanan, pertukangan kayu dan batu serta perbengkelan.144
Pembinaan dan pendidikan terus digalakkan. Bahkan pernah terjalin kerjasama dengan pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang juga mengajarkan berbagai keterapilan seperti mebel, otomotif, instalasi listrik dan yang berbagai keterampilan yang diajarkan saat sedang berlangsung proyek. Dengan ini diharapkan hasil pendidikan pesantren Hidayatullah tidak hanya cakap dalam hal ceramah dan dakwah tapi juga lihai dalam menjalankan tugas-tugas operasional yang membutuhkan keahlian. Sehingga mereka memiliki rasa percaya diri dan tidak lemah dalam menjalankan tugas di tengah-tengah masyarakat.
Kemudian jika ada pendidik yang masih lajang sementara dia sudah waktunya untuk menikah maka dia akan dicarikan pasangan untuk dinikahkan. Karena seorang pemimpin dalam hal ini adalah pendidik yang baik adalah jika dia telah menyempurnakan agamanya. Karena bagaimanapun kemampuan kepemimpinan seorang kader, kalau belum berumah tangga , tidak dapat diandalkan. Maka program pernikahan ini menjadi program penting untuk dapat menampilkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab, karena memimpin sebuah rumah tangga adalah langkah awal memimpin masyarakat. Sehingga tidak ada pendidik di kampus Gunung Tembak yang mengajar melainkan dia telah memiliki pasangan hidup (istri).145 Ini adalah implementasi dari fase ber-Khadijah.
Selanjutnya adalah fase bergua Hira. Aplikasi bergua hira adalah mengupayakan untuk santri-santri dapat bertahan dan konsentrasi di kampus untuk menyerap pelajaran-pelajaran yang diberikan dan giat melakukan ibadah. Itulah sebabnya izin keluar kampus diperketat. Dalam hal-hal yang dianggap tidak terlalu penting santri-santri dilarang meninggalkan kampus. Karena dengan mengizinkan santri-santri keluar seenaknya, menurut pengalaman untuk mengembalikan kondisi jiwanya memerlukan waktu panjang. Padahal apa yang telah mewarnai kehidupan santri dengan pelaksanaan ibadah yang teratur dan akhlak yang mulia adalah merupakan kekayaan yang sangat tinggi nilainya. Sangat disayangkan kalau hanya dengan izin beberapa hari kekayaan yang diperoleh selama bertahannuts di kampus itu bisa berkurang atau hilang sama sekali.146
2. Pelaksanaan
a. Pengikisan Thaga
Berdasarkan uraian di atas serta dengan mengacu pada hasil wawancara peneliti selama 5 hari terhitung sejak 12 – 17 April 2008 di kampus Gunung Tembak Balikpapan implementasi dari perencanaan yang telah diuraikan di atas tidaklah terlalu banyak dan terkesan sangat sederhana. Lazimnya, seluruh SDM pendidikan yang diterima harus terjun ke lapangan untuk melakukan kerja fisik yang jamak dilaksanakan selama kurang lebih 40 hari. Hal ini disebabkan karena konsentrasi pesantren yang masih mengarah pada pengembangan dan pemantapan program mewujudkan pesantren sebagai miniatur masyarakat madani. Oleh karena itu uji mental dan penanaman komitmen diukur melalui media kerja 40 hari tersebut yang populer dengan istilah Training Center.
Training Center atau TC ini merupakan aplikasi dari surah al-“Alaq yang bertujuan mengikis thaga’. Dengan TC ini diharapkan akan tumbuh kesadaran diri sebagai manusia yang memahami dan merasakan hakikat dirinya sebagai ciptaan yang hina, ciptaan yang bodoh dan ciptaan yang serba tergantung kepada yang Maha Agung. Salah satu pendidik yang sering-sering disebut sebagai kader Hidayatullah yang mengalami proses pembinaan TC ini adalah Drs. Nursyamsa Hadis. Beliau ini (Nursyamsa Hadis) adalah pendidik dari IKIP Makassar yang terjun ke lapangan dan menggali parit selama 40 hari. Kini beliau menjadi Anggota DPD Kaltim periode 2004-2009. Sebelumnya pernah memegang amanah sebagai kepala sekolah Aliyah Radhiyatan Mardhiyah Putra.147
Mereka yang memiliki background pendidikan akan ditempatkan di pendidikan untuk menjadi tenaga pengajar atau administrasi pendidikan. Selanjutnya pembinaan akan ditangani langsung oleh departemen pendidikan dalam hal ini dibawahi oleh Ustadz Syamsu Rizal Palu.
Berbicara mengenai pengikisan thaga ini erat sekali kaitannya dengan maindstream kandungan surah al-‘Alaq ayat 1-5. Diterangkan bahwa hampir dasawarsa pertama sejak pendiriannya materi al-‘Alaq adalah menu utama kajian dan pembinaan. Sampai-sampai kajian al-‘Alaq di pesantren pernah dianggap sebagai kajian yang over dosis. Bayangkan lebih dari 10 tahun kajian yang berlangsung belum memasuki pengkajian dari ayat yang lain. Dan telah menjadi tradisi di Pesantren setiap bulan Ramadhan dikonsinyer khusus untuk mendalami al-“Alaq. Ini yang menjadi rahasia menarik dalam kandungan al-‘Alaq di antaranya :
Merupakan wahyu pertama yang begitu diturunkan langsung membuat gebrakan dan menggetarkan kota Makkah.
Allah jelas mengetahui bahwa Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah, akan menemui tantangan, hambatan dan resiko yang cukup besar sehingga dipandang perlu untuk memberikan suatu bekal yang sangat ampuh dalam menghadapi tantangan tersebut.
Kenapa orang yang menjadi pengikut nabi memiliki rasa fanatisme danmilitansi yang sangat luar biasa serta megagumkan seolah-olah otaknya tidak difungsikan, padahal justru sebaliknya.148

Kesemua hal itu memberikan suatu pertanda bahwa al-‘Alaq memiliki kehebatan, daya getar yang menggemparkan di mana sejak diturunkannya, dunia Arab menjadi geger, Roma dan Persia menjadi goyah, disebabkan pengaruh dari al-‘Alaq. Dalam istilah manajemen SDM secara umum pengikisan tagha sama halnya dengan konsep pengembangan SDM yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kerja yang sangat berguna nantinya dalam mendukung terealisasinya leadership skill.
b. Penanaman Komitmen
Sementara proses TC berlangsung setiap SDM baru harus mengikuti kultur yang telah terbangun di pesantren Hidayatullah. Tidak peduli betapapun lelahnya badan karena telah bekerja fisik selama kurang lebih lima setengah jam terhitung sejak jam tujuh pagi sampai tiba waktu sholat Dzuhur setiap penghuni kampus wajib menjalankan sholat Dhuhur berjama’ah di masjid. Bagi mereka yang sengaja melanggar maka akan mendapatkan peringatan dari Ustadz Abdullah Said secara langsung.
Usai pelaksanaan shalat berjama’ah, sudah menjadi tradisi di pesantren Ustadz Abdullah Said langsung memberikan semangat, dorongan dan motivasi kepada seluruh masyarakat pesantren untuk tetap optimis, bergerak menorehkan karya dan senantiasa yakin akan janji-janji kemenangan yang Allah janjikan kepada para hamba-hamba-Nya yang istiqomah. Sehingga meskipun kerja fisik berlanjut usai sholat Dhuhur SDM baru tetap memiliki motivaasi untuk melanjutkan pekerjaannya, meskipun terik mentari tidak lagi bisa diajak kompromi. Keyakinan akan kebenaran al-Qur’an dan bahwa apa yang dikerjakannya itu adalah amal besar yang akan memberi manfaat besar bagi perjuangan Islam, lelah yang dirasakan seolah sirna begitu saja.
Materi-materi yang banyak disampaikan oleh Ustadz Abdullah Said dalam taushiyahnya usai shalat bejama’ah biasanya adalah pemantapan aqidah dan keyakinan akan kebenaran janji Allah. Dimana untuk hal ini bahan taushiyahnya adalah kandungan dari surah al-“Alaq dan al-Qalam. Akan tetapi secara umum segala bentuk taushiyah yang beliau berikan adalah dalam rangka pemantapan nilai-nilai Sistematika Nuzulnya Wahyu dalam akal dan hati para jama’ahnya.
Setiap saat Ustadz Abdullah Said memberi penjelasan tentang wahyu pertama ini. Berbagai kesempatan digunakan untuk berdiskusi, seminar, sarasehan, dan lain-lain yang topiknya tidak lain menggali kandungan wahyu pertama. Kemudian diteruskan kepada wahyu-wahyu berikutnya. Untuk santri-santri kalong ( santri yang hanya ikut belajar di waktu malam, kemudian dirubah menjadi santri takhassus) menggabung dengan pembimbing dan santri dewasa disediakan waktu dua kali sebulan pada malam Ahad untuk mengadakan diskusi. Sebelumnya, dianjurkan kepada peserta untuk terlebih dahulu membaca buku-buku tarikh dan referensi-referensi lain. Sehingga membuat diskusi menjadi hidup dan berbobot. Menurut Ustadz Abdullah Said, “Lewat ungkapan-ungkapan teman-teman yang disampaikan setelah bermujahadah membaca berbagai sumber selama dua pekan cukup membantu untuk menambah hazanah pengayaan makna dan nilai-nilai sistimatika wahyu khususnya wahyu pertama ”.149
Akan tetapi semua itu masih dirasa kurang, oleh karena itu implementasi pemahaman dan ilmu dalam keseharian adalah hal yang terus mendapat perhatian khusus. Karena memang target dari hasil pembinaan tersebut bukan sekedar menjadi perbendaharaan ilmu pengetahuan, tapi diupayakan dapat terwujud dalam realitas kehidupan. Terutama di kalangan warga dan santri-santri di Kampus Gunung Tembak yang diibaratkan sebagai pilot proyek. Santri-santri dan warga secara bergantian disuruh tampil mengemukakan pemahaman dan tangkapannya tentang sistimatika wahyu. Lewat penjelasan-penjelasan yang lugu itu diketahui sudah sampai dimana pengetahuan dan tangkapan mereka. Dan dapat diketahui tingkat mujahadah yang mereka lakukan. Disamping itu diadakan kontrol secara terus menerus.150
Untuk menghasilkan karakter santri yang dapat diandalkan maka hal di atas perlu dikuasai dan tercermin dalam diri para pendidik. Agar para pendidik memiliki selfcontrol dalam dirinya maka hal utama yang diberlakukan di pesantren setelah proses TC berhasil adalah upaya penanaman nilai-nilai tawhid dalam jiwa dan pemikirannya.
Hal ini sangat mungkin untuk ditransformasikan kepada peserta didik (santri). Setidaknya karena memang pesantren saat itu masih belum terdesak untuk menyelenggarakan pendidikan klasikal, sehingga suatu langkah tepat jika kemudian yang banyak diupayakan adalah bagaimana merasukkan keimanan dan keyakinan kepada anak-anak didik (tidak terkecuali para pendidik) benar-benar dapat digalakkan. Sehingga mereka tidak sekedar menghafal rukun iman dan rukun Islam, tapi juga mengupayakan secara terus menerus bagaimana mereka merasakan nilai-nilai iman dan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya. Setiap saat mereka digiring untuk menyadari betapa kekuasaan Allah dan bagaiamana kelemahan makhluk, termasuk manusia dapat kita rasakan dicelah-celah dengusan nafas dan denyutan jantung kita setiap saat. Demikian pula lewat desir angin dan desah air serta gerak seluruh benda-benda di sekitar kita.
Pepatah yang menyatakan bahwa ala bisa karena biasa juga terjadi di pesantren Hidayatullah. Hal ini merupakan keberhasilan yang patut disyukuri karena pembinaan yang dilakukan itu cukup membawa hasil. Warga dan santri-santri yang tadinya masih membawa kultur thagha’nya yang telah lama melekat pada dirinya sebelum berada di Hidayatullah kini mengalami perubahan yang signifikan. Mereka sudah malu membanggakan keturunannya, status sosialnya, kekayaan, kehebatan orang tuanya, ketinggian ilmunya, dan lain sebagainya. Taqwa yang menjadi satu-satunya ukuran kemuliaan dalam perspektif Islam mulai mewujud dalam kultur pesantren ini.151
Kegiatan sedemikian itu dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas emosional spiritual karenanya guru-guru wajib mengikuti shalat jama’ah di masjid dan menjalankan setiap amanah yang dibebankan kepadanya. Selain pembinaan di atas pada setiap malam Jum’at seluruh warga pesantren berkumpul di masjid untuk mendengarkan taushiyah umum dari Ustadz Abdullah Said yang telah berjalan sejak tahun 1983. Kini pesantren yang di bangun di atas optimisme dan idealisme itu telah memiliki pendidikan yang “bergengsi”, mulai dari TK hingga perguruan Tinggi : Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Hidayatullah Balikpapan.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka jelas dibutuhkan semangat, keyakinan dan etos kerja yang menggelora. Guna mendapatkan hal ini maka sholat tahajjud adalah program unggulan yang harus dipelihara dalam kultur pesantren ini. Puncak pelaksanaan shalat lail di Pondok Pesantren Hidayatullah adalah pada bulan Ramadhan. Dilakasanakan pada jam 00.00 dan berakhir pada jam 04.00. Bacaan ayat-ayat Al-Qur’an didalam shalat lail selama 4 jam itu biasanya menghabiskan 24 halaman atau lebih satu juz dengan suara yang lantang dan pelan memecah kesunyian malam dari Ustadz Abdullah Said. Pada saat-saat penantian lailatul qadar, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan shalat lail yang dilakukan lebih dari 4 jam, karena sebelum jam 00.00 sudah dimulai dan berakhir setelah lewat jam 04.00.152
Untuk memberikan wadah yang lebih cepat dalam membina kedewasaan para pendidik maka diselenggarakanlah program pernikahan massal. Hal ini adalah respon yang diberikan atas budaya masyarakat yang menjadikan pernikahan sebagai suatu hal yang menakutkan bagi banyak pemuda. Sebab tidak akan pernah bisa menikah pemuda yang tidak mampu menyediakan dana besar untuk resepsinya. Sementara jika ini dibiarkan hanya akan memicu semakin maraknya praktik pacaran dan bahkan perzinahan.
Oleh karena itu salah satu implementasi akan keyakinan kepada Allah SWT di tengah segala keterbatasan yang dimiliki pernikahan adalah media yang dianggap tepat untuk meningkatkan kualitas syahadat dan keimanan seorang kader pendidik. Untuk itu pesantren memberikan wadah pernikahan massal sebagai solusi atas fenomena masyarakat yang sangat jauh dari tradisi dan nilaia-nilai ke-Islam-an. Bahkan pernah sampai terselenggara pernikahan sejumlah 100 pasang. Selain murah berkah dari pernikahan ini begitu terasa. Apalagi dalam pelaksanaannya sringkali pernikahan massal itu dihadiri oleh pejabat tinggi negara, sehingga cukup bergengsi.153
Dari uraian di atas maka komponen-komponen tujuan pengembangan SDM telah terpenuhi mulai dari produktivitas kerja sampai pada performance yang akan mengundang simpati dan kepercayaan masyarakat kepada pesantren Hidayatullah. Bahkan lebih dari itu apa yang telah berhasil menjadi sebuah kultur dan sistem di sana secara otomatis akan memotivasi SDM pendidikan untuk terus-menerus melakukan pengembangan diri.
c. Pemberian Amanah
Usai melangsungkan pernikahan dengan bekal pemahaman SNW dan kultur lingkungan yang mulai akrab dan menjadi bagian dari jiwanya maka saatnyalah mereka diamanahkan untuk menangani suatu urusan. Fase pemberian amanah ini sejatinya merupakan pembinaan yang sesungguhnya di mana segala hal yang pernah didapatkan dalam proses-proses pembinaan sebelumnya benar-benar dituntut bukti dan kontribusinya.154
Terkait dengan masalah-masalah teknik dan penguasaan keterampilan mengenai suatu bidang pekerjaan Ustadz Abdullah Said menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada departemen pendidikan. Jadi beliau tidak pernah turun sampai pada masalah teknik. Kedisiplinan kerja, profesionalisme, dedikasi dan lain sebagainya Karena setiap pendidikan yang telah diamanahkan untuk suatu urusan diasumsikan telah mampu menerjemahkan kandungan dari materi pembinaan selama ini. Sehingga mereka yang benar-benar ingin berjuang tanpa kontrol eksternal pun akan senantiasa memberikan yang terbaik bagi kejayaan umat Islam.
3. Evaluasi
Serasi dengan proses pembinaan secara langsung yang banyak menghabiskan masa awal di lapangan dengan porsi kerja fisik yang dominan, maka proses evaluasi bukan suatu hal yang sulit dan bahkan hampir tidak pernah terjadi pemecatan di dalamnya.155 Hal ini karena proses pembinaan yang berlangsung sejak pertama kali SDM pendidikan bergabung di pesantren secara perlahan kesadarannya sebagai seorang muslim mulai tumbuh dan secara bertahap komitmen untuk mengabdi dan berjuang kian menguat. Jadi evaluasi justru berjalan sejak pertama kali SDM pendidikan bergabung dengan pesantren. Bahkan dalam setiap amal yang mereka lakukan secara pribadi mereka juga senantiasa melakukan muhasabah diri. Ini dapat dilihat dari produktivitas, kedisiplinan dan loyalitas terhadap pesantren.
Oleh karena itu mereka yang berhasil menjalani TC selama 40 hari dan bahkan ada yang lebih dari itu, dapat diprediksikan tidak akan banyak menemukan masalah dikemudian hari. Karena rata-rata mereka yang memilih mundur dan keluar dari arena pesantren adalah mereka yang tidak lulus dalam proses TC. Jika dalam perjalanannya terdapat SDM pendidikan yang bermasalah kemudian memilih keluar itu berarti yang bersangkutan tidak lulus seleksi alam yang dalam praktiknya memerlukan kesabaran tingkat tinggi. Sehingga pantas jika stressing awal dalam pembinaan adalah kandungan surah al-‘Alaq dan al-Qalam. Dimana syahadatnya harus kokoh dan keyakinannya terhadap al-Qur’an sebagai jalan hidup benar-benar terhujam di dalam hati. Sehingga kesulitan dalam menjalankan tugas, dan kekurangan yang mengitarinya tidak menjadikan hati gundah gulana dan dada sempit sesak.
Selanjutnya standarisasi kualitas guru yang baik tidak selalu berdasarkan pada kecerdasan dan skillnya semata. Tetapi juga ketaatannya pada sistem dan pimpinan. Di sini seorang guru tidak cukup hanya ahli dalam bidangnya tetapi juga harus cakap dalam membina mental dan akhlak peserta didiknya. Oleh karena itu bagi mereka yang dianggap berhasil maka akan diberikan amanah yang lebih besar dan lebih menantang mental dan aqidahnya, tugas merintis cabang atau merintis sekolah di salah satu cabang pesantren Hidayatullah di daerah lainnya. Di samping itu jika terdapat oknum yang “bermasalah” maka dia tidak langsung dihukum atau diberikan sanksi berat melainkan dimutasikan pada job lain dengan harapan ada perubahan sikap dan terjadi proses penyadaran diri yang lebih baik.
Secara sederhana kultur Hidayatullah yang dibangun melalui shalat jama’ah, shalat lail, membaca al-Qur’an dan silaturrahmi adalah media yang sangat tepat untuk melatih dan membina mental aqidah dan fikrah para jama’ahnya dalam hal ini adalah SDM pendidikannya. Sehingga jika kultur ini mampu terpatri dalam hatinya dapat dipastikan dia adalah guru yang teruji dan layak untuk disebut sebagai kader yang dapat melahirkan kader-kader baru melalui lembaga pendidikan.
Terkait dengan evaluasi yang bersifat teknis sepenuhnya ditangani oleh departemen pendidikan. Bagaimana sekolah ini bisa lebih maju dan dipercaya umat adalah tugas dan tanggung jawab departemen pendidikan. Di mana saat ini mulai dari pendidikan anak-anak, pendidikan dasar dan pendidikan menengahnya telah menyandang akreditasi dari pemerintah dengan nilai A. Ini tentu satu bukti bahwa manajemen pembinaan SDM di pesantren Hidayatullah layak untuk dipertahankan dan dikembangkan terus-menerus.
Satu hal yang patut untuk disampaikan di sini adalah tradisi peringatan tahun baru Hijriah. Bagi pesantren Hidayatullah ini merupakan ajang evaluasi besar-besaran yang ternyata berhasil memberikan spirit dan mujahadah para kader dalam mengemban amanah perjuangan ini. Ini dikarenakan 1 Muharram adalah hari rayanya warga pesantren. Satu Muharram bukan sekedar tahun baru. Karena di tanggal itulah Pesantren berdiir, 18 tahun lalu yakni pada1 Muharram 1394 H.
Acara 1 Muharram ini merupakan acara rutin konvensional, silaturrami seluruh warga dan keluarga besar pondok pesantren Hidayatullah. Mereka datang dari Irian, Jawa, Sumatera, dan hampir seluruh propinsi lainnya. Pertemuan ini juga menjadi ajang untuk mendapatkan bekal tambahan guna melanjutkan perjuangan yang semakin menantang. Ibarat accu yang sudah setahun dipakai, pada kesempatan inilah distroom kembali. “Walau perjalanan masih panjang cita-cita masih menjulang, kita patut bersyukur bahwa apa yang kita capai sekarang sebenarnya di luar batas kemampuan. Hutan dan rawa Gunung Tembak sekarang sudah kita sulap mejadi pemukiman Islami yang asri dan menyejukkan. Dari sini kita punya proyeksi masa depan yang gemilang, Insya-Allah”.156
Namun demikian hal utama yang perlu ditekankan dalam proses evaluasi adalah secara terus-menerus memahami makna dan hakikat penciptaan manusia. Sebab tanpa itu maka penyempurnaan dan perbaikan tidak akan memberikan manfaat besar bagi generasi penerus. Ustadz Abdullah Said menyatakan bahwa “membuat undang-undang, peraturan, norma-norma, tata krama yang tujuannya untuk kepentingan manusia tanpa bekal informasi dan keterangan yang jelas lengkap dan memadai tentang diri manusia hasilnya pasti tidak mengenai sasaran. Oleh karenanya wajar saja kalau undang-undang yang mereka buat sebentar-sebentar mengalami perubahan, seperti menyangkut sistim pendidikan, tata ekonomi, norma-norma sosial, politik budaya dan lain-lain.157

Merujuk pada pengamatan dan wawancara langsung dengan sumber primer di pesantren Hidayatullah Balikpapan selama 5 hari dari 12 – 17 April 2008 peneliti menemukan satu hal prinisip yang mendapat penekanan khusus dan berjalan dengan baik hingga saat ini. Hal ini terlihat dari tujuan pendidikan di pesantren itu sendiri dimana hasil yang diharapkan adalah terlahirnya manusia yang baik, yakni manusia yang memelihara dan menjaga nilai-nilai kefitrahannya. Fitrah dimaksud adalah komitmen jiwanya akan status dan hakikat dirinya di tengah kosmos yang luas ini. Sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an Surat al-A’raf ayat 172 yang artinya :
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Sama dengan pendapat Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Sehingga hal utama yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati bukan nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara masyarakat dan dunia
Dengan demikian dapat dipahami bahwa manajemen pembinaan SDM pendidikan di pesantren Hidayatullah adalah model pembinaan yang sesuai dengan tujuan dan idealisme pendidikan Islam. Oleh karena itu perubahan struktur, kultur masyarakat secara umum tidak menjadikan kaburnya atau bahkan hilangnya model pembinaan ini. Karena bagaimanapun manajemen pembinaan yang telah diterapkan sejak pertama kali didirikannya pesantren Hidayatullah adalah satu bukti nyata bahwa hal tersebut cukup efektif untuk menjaring insan berkualitas baik mental, skill maupun spiritualnya.
Ustadz Abdullah Said menyatakan bahwa “kenapa potensi SDM tidak dipacu sejak dahulu, adalah karena memang untuk memprosesnya dibutuhkan waktu yang demikian lama. Harus sabar karena perlu pertumbuhan yang alami. Dan yang punya kesempatan untuk itu, justru kita ini, masyarakat kalangan bawah. Kelompok yang bukan pembesar. Hal itu karena memang kita punya kesempatan yang lebih banyak untuk ber Islam. Atau paling tidak berlatih menjadi seorang muslim yang baik.”158
Jadi sangat jelas mengapa Ustadz Abdullah Said tidak menjadikan skill profesional SDM pendidikan sebagai target utama dalam manajemen pembinaan. Karena kesadaran akan status dirinya sebagai muslim dan lebih spesifik lagi sebagai guru secara otomatis akan menstimulasi para SDM pendidikan untuk senantiasa melakukan perubahan terbaik menuju sempurnanya sebuah hasil dari proses pendidikan Islam. Selanjutnya untuk memberikan kriteria profesional kita tidak perlu meniru kriteria orang lain cukup apa yang telah Allah gariskan sebagai ketaqwaan dan sebagai jama’ah loyalitas adalah kriteria utama seorang dikatakan profesional atau tidak.
Ustadz Abdullah Said menegaskan bahwa manajemen tidak akan berfungsi jika loyalitas tidak berjalan dengan baik di dalamnya. Loyalitas terhadap seorang pemimpin harus tertanam penuh di benaknya. Ketaatan tanpa penawaran mesti dilatihkan setiap saat. Sebab kunci dari berperannya seorang pemimpin memanage, adalah kepatuhan yang dilakukan pihak terpimpin. Bagaimanapun canggihnya teori manajemen pemimmpin, tanpa ada yang melaksanakannya adalah satu hal yang sangat sia-sia.159
Oleh karena itu Ustadz Abdullah Said menjadikan aspek mendasar dibalik sebuah manajemen dapat berjalan dengan baik tanpa ada tekanan dan pengawasan manual (manusia) tapi kesadaran. Di sinilah Ustadz Abdullah Said menemukan ide cemerlangnya bahwa manajemen akan berjalan dengan baik jika lingkungan mendukung akan hal tersebut.
“Dengan demikian maka kita perlu melakukan proses untuk menata lingkungan kita sedemikian rupa. Kita dandani dan benahi sebaik-baiknya untuk menciptakan lingkungan dan suasana yang memungkinkan wahyu itu mudah meresap. Pengarahan dan bimbingan setiap saat adalah dalam rangka menuju ke sana. Kita upayakan sedemikian rupa agar jadwal hidup warga menunjang dan mendukung program Islamisasi itu.”160

Karena manajemen pembinaan ini belum tersusun rapi dalam sajian buku atau diktat maka tugas kita adalah menggali semua itu untuk selanjutnya dimusyawarahkan dalam rangka mencari format yang tepat dalam upaya-upaya pengembangan pendidikan pesantren. Dalam hal ini kampus pusat Balikpapan harus mampu menjadi pionir dalam pelaksanaannya. Dengan demikian maka pendidikan Hidayatullah dikemudian hari tidak akan menemukan banyak kendala yang jika tidak segera diantisipasi sangat berpeluang terhadap munculnya pergeseran orientasi perjuangan Hidayatullah itu sendiri.
Melihat kajian teori dan hasil temuan data tidak selayaknya jika pihak manajer pendidikan hanya dan hanya menjadikan model manajemen pendidikan modern sebagai standar ukuran untuk memajukan sekolah. Lebih dari itu apa yang telah dikembangkan oleh Ustadz Abdullah Said adalah satu hal yang perlu dipertahankan dan dikembangkan. Setidaknya karena ranah pendidikan dan orientasi dari manajemen umum tersebut tentu sangatlah berbeda. Pendidikan dalam Islam adalah bertujuan melahirkan manusia yang siap mengemban tugas ke-Ilahi-an sedangkan notabene manajemen lahir karena desakan ekonomi yang kala itu secara mendadak melanda masyarakat Eropa akibat revolusi industri di Inggris.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian empat bab sebelumnya peneliti menyimpulkan beberapa hal yang mendasar dalam Manajemen Pembinaan SDM Pendidikan Pesaantren Hidayatullah. Berikut ini adalah beberapa poin yang peneliti anggap penting dalam manajemen pembinaan SDM pendidikan pesantren Hidayatullah di Balikpapan :
1. Perencanaan
1.Manajemen yang diterapkan Ustadz Abdullah Said adalah manajemen yang berazaskan kasih sayang menuju ridha Allah.
2.Senantiasa menjadikan diri sebagai standar dalam segala hal; yakni upaya sungguh-sungguh untuk bisa menjadi uswah bagi yang lain.
3.Pembinaan dilaksanakan secara simultan di segala ruang dan kesempatan
4.Proporsional dan efektif
5.Menghendaki pendidikan yang berlangsung adalah pendidikan yang mengacu pada model pembinaan yang dilakukan oleh Nabi kepada para sahabat
6.Menyampaikan materi dan ide pemikirannya seseuai dengan kapasitas umat

2. Pelaksanaan
1.Penguatan syahadat melalui kajian malam Jum’at dan kerja lapangan
2.Shalat berjama’ah
3.Shalat lail
4.Baca al-Qur’an
5.Akhlak
6.Pembentukan halaqah (team work)
7.Pendidikan dan Pelatihan yang mendukung profesionalitas SDM pendidikan
3. Evaluasi
1.Diskusi terbuka
2.Pemberian taushiyah
3.Layangan surat panggilan
4.Pengisian form kesiapan berjuang atau penulisan ikrar kesiapan untuk berjuang
5.Pemberian amanah atau pendelegasian

B. Saran
Dengan demikian maka peneliti memberikan beberapa saran terkait dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, di antaranya adalah :
1.Mempelajari dan menggali lebih cermat lagi konsep-konsep dan ide-ide Ustadz Abdullah Said dalam membangun kejayaan umat lebih khusus dalam ranah pendidikan formal
2.Hidayatullah perlu membentuk tim pengkaji, perumus konsep pendidikan yang didasarkan dan atau diderivasikan dari manhaj Sistimatika Nuzulnya Wahyu
3.Menjadikan kampus Gunung Tembak sebagai proyek unggulan untuk penerapan konsep pendidikan integral yang selama ini dijalankan
4.Melakukan pembinaan dan pengembangan SDM pendidikan yang mumpuni agar kemungkinan deviasi antara konsep dan praktek dapat diminimalisir dengan baik
5.Jika belum mampu untuk mensuplai tenaga guru yang diharapkan maka setidaknya para kepala sekolah, kepala departemen pendidikan di tiap DPW dan DPD Hidayatullah se-Indonesia adalah kader yang terakreditasi kredibilitas dan loyalitasnya terhadap perjuangan Hidayatullah.
Category: 0 komentar